JAKARTA, HUMAS MKRI – Daerah yang diberi predikat otonomi khusus dengan undang-undang boleh saja bersifat desentralisasi asimetris, bukan simetris atau yang otoritasnya oleh pemerintah pusat dilakukan secara luar biasa. Dengan arti kata, daerah tersebut dapat saja lebih dan berbeda dari daerah yang lain, baik dalam kewenangan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, fiskal dan administrasi, dan termasuk soal kepartaian.
Hal tersebut disampaikan Djohermansyah Djohan selaku ahli bidang politik lokal dan otonomi daerah yang dihadirkan Ketua dan Sekjen Partai Papua Bersatu atas nama Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 41/PUU-XVII/2019 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (17/12/2019). Dalam permohonannya, para Pemohon menguji frasa “Partai Politik” pada Pasal 28 ayat (1) UU Otsus Papua yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut Djohermansyah menguraikan bahwa sebuah isu partai politik yang dibentuk oleh penduduk terkait erat dengan tujuan pemberian otonomi khusus untuk penyelesaian konflik secara damai dan bermartabat. Di samping itu, sambungnya, langkah ini sebagai konsesi agar perlawanan yang bergejolak dapat dihentikan dengan diberikannya wewenang dan desentralisasi fiskal oleh Pemerintah Pusat serta kelembagaan pemerintahan daerah yang sesuai dengan kearifan lokal, termasuk salah satunya dengan adanya sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berbeda dengan daerah lain.
“Begitu pula dengan pembentukan partai politiknya, yang membuka ruang guna mengakomodasi identitas lokal, serta transformasi kelompok separatis dari perlawan fisik bersenjata di hutan-hutan ke perjuangan demokrasi yang memuliakan manusia di panggung-panggung pilkada, pemilu legislatif, kantor-kantor DPR RI, dan pemda,” ujar Djohermansyah dihadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Berbasis Budaya Lokal
Menurut Djohermansyah dengan adanya partai politik lokal, tidak hanya untuk menyelesaikan konflik dengan kelompok separatis, tetapi juga besar manfaatnya bagi pengembangan demokrasi lokal. Hal ini juga sekaligus dapat menguatkan demokrasi nasional. Politik itu bermulai dari lokal karena tidak ada bangunan politik nasional yang kuat apabila bangunan politik lokalnya lemah. Bahkan, jelas Djohermansyah, apabila politik nasional lemah maka negara akan tertinggal di pentas politik internasional.
“Dalam konteks pengembangan demokrasi lokal itu sendiri, keberadaan partai politik di Papua akan bermanfaat untuk menyuburkan dan menyehatkan kehidupan demokrasi berbasis budaya lokal,” terang Djohermansyah.
Sebelumnya Pemohon menyampaikan kerugian konstitusional yang dialami para Permohon bermula pada kasus konkret yang dihadapinya yaitu ditolaknya partai politik (parpol) Pemohon untuk berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 oleh KPU Provinsi Papua. Hal ini diperkuat pula dengan telah dibatalkannya Keputusan Pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Dijelaskan para Pemohon bahwa awalnya dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maksud Pasal 28 ayat (1) adalah untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua. Karena Provinsi Papua pada akhirnya diberlakukan otonomi khusus berdasarkan UU Otsus Papua tersebut. Menurut para Pemohon, parpol dimaksud adalah parpol lokal. Selain karena basis dukungannya semata-mata di wilayah Provinsi Papua, utamanya adalah landasan hukumnya bersifat khusus sesuai dengan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis. (Sri Pujianti/NRA)