JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (1/10/2019). Sidang yang teregistrasi Nomor 50/PUU-XVII/2019 dan Nomor 51/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.
Sidang perkara Nomor 51/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Muhammad Sholeh (Pemohon I) yang hendak mencalonkan diri sebagai Walikota Surabaya Periode 2020 – 2024 dan Ahmad Nadir (Pemohon II) yang ingin mencalonkan diri sebagai Bupati Gresik Periode 2020 - 2024. Dalam perkara ini, para Pemohon juga menyatakan Pasal 40 ayat (1) huruf a, b, c, d, e; ayat (2) huruf a, b, c, d, e; ayat (3) dan ayat (4) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Pada sidang kedua ini, para Pemohon melalui Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa hukum menyampaikan argumentasi yang memperkuat alasan permohonan perkara a quo.
Dalam uraiannya, Singgih menjabarkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan aturan tentang jadwal penyelenggaraan Pilkada 2020 dan PKPU pun mengatur tentang hal serupa mengenai aturan penyelenggaraan pilkada tersebut. Sesuai jadwal, sambung Singgih, pemungutan suara akan diselenggarakan pada 23 September 2020, sedangkan penyerahan dukungan bagi kepala daerah tersebut adalah 11 Desember 2019 sampaidengan 5 Maret 2020. “Maka atas keputusan tersebut, kami memohonkan agar Mahkamah mempercepat persidangan dan keputusannya dalam perkara a quo,” harap Singgih.
Selain itu, sehubungan denan kenaikan jumah persentase dukungan bagi calon yang diusung partai politik hanya naik sebesar 33%, sedangkan bagi jalur perseorangan kepala daerah kenaikan mencapai 110%. “Jadi, kenaikannya lebih besar yang perorangan sehingga membuat calon kepala daerah perseorangan harus bekerja dua kali lebih dari syarat yang ditentukan sebelumnya,” jelas Singgih.
Untuk itu, melalui petitumnya para Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) huruf a, b, c, d, e; ayat (2) huruf a, b, c, d, e; ayat (3) dan ayat (4) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya, para Pemohon menyebutkan seharusnya syarat jumlah dukungan bagi calon kepala daerah perseorangan tidak boleh lebih berat daripada syarat parpol yang dapat mengajukan calon kepala daerah. Hal ini agar tidak terjadi ketidakadilan karena bagi calon dari parpol biaya pengusungan diri dibebankan kepada APBN. Adapun bagi calon perseorangan harus mengumpulkan sendiri pernyataan dukungan. Untuk itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan pasal-pasal a quo atau membuat keputusan konstitusional bersyarat yang memberikan syarat dukungan dari partai politik dan jalur perseorangan yang tidak memberatkan pasangan calon pemilu kepala daerah.
Mencabut Permohonan
Madsanih adalah Pemohon perkara Nomor 50/PUU-XVII/2019 yang bertindak sebagai Ketua DPW Partai Bulan Bintang. Pemohon menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Dalam sidang kedua ini, Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum menyampaikan pihaknya mencabut permohonan perkara a quo. Berdasarkan berbagai pertimbangan, pada awalnya Pemohon dari perkara a quo akan mengikutsertakan beberapa calon kepala daerah dari wilayah Papua. “Namun karena situasi yang tidak memungkinkan dan adanya Pemohon lain yang juga mengajukan pengujian norma serupa, maka kami merasa kedudukan hukum Pemohon kurang kuat sehingga Pemohon pada perkara a quo sepakat mengundurkan permohonan dan kami sepakat menyerahkan suratnya,” sampai Viktor.
Sebagaimana diketahui, Pemohon sebagai kader PBB memiliki kesempatan untuk diusung sebagai calon kepala daerah dapal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2020 mendatang. Namun dengan adanya ketentuan norma tersebut yang memberikan syarat partai politik mendaftarkan pasangan calon harus memenuhi perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggoa DPRD di daerah yang bersangkutan. Sehingga, parpol harus menggabungkan diri kepada parpol lain agar dapat memenuhi ambang batas persyaratan tersebut. Seperti diketahui, persyaratan ambang batas parpol dalam kontestasi untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat eksekutif tersebut, berangkat dari sistem penyelenggaraan pemilu presiden (pilpres) dengan basis konstitusional Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, sistem ini diberlakukan untuk mendorong tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan perolehan suara partai politik pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden di DPR.
Selain itu, menurut Pemohon, ketentuan pasal yang diujikan seharusnya dipandang sama dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang pada intinya tidak mensyaratkan adanya ambang batas untuk mencalonkan gubernur, bupati, dan walikota. Di samping itu, keberadaan kata “atau” pada UU Pemerintah Aceh yang tidak diikuti dengan adanya persyaratan perolehan dari jumlah kursi anggota dewan atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. (Sri Pujianti/LA)