JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak untuk seluruhnya permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 (PHPU Presiden 2019) yang dimohonkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno (Prabowo-Sandi). Demikian bunyi amar putusan MK Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno yang digelar pada Kamis (27/6/2019) di MK.
Pasangan Prabowo-Sandi (Pemohon) dalam permohonannya memersoalkan tentang persyaratan Calon Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang namanya masih tercantum pada dua bank BUMN, yaitu Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS). Menanggapi hal ini, Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan bahwa berpedoman pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) dan guna mengetahui kedudukan komposisi pemegang saham, maka perlu diketahui komposisi modal atau saham dari kedua bank tersebut.
Menurut Mahkamah, tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki negara. Sehingga, sambung Wahiduddin, tidak dapat didefinisikan kedua bank tersebut sebagai BUMN melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki BUMN. Sehubungan dengan keberadaan DPS, hal tersebut tidak dikenal dalam perusahaan Persero. Dengan demikian, jelas Wahiduddin, merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 15 huruf a dan huruf b serta Pasal 32 ayat (3) UU Perbankan Syariah, maka DPS meski merupakan organ yang terafiliasi dengan Bank Syariah, tetapi ditempatkan berbeda dengan komisaris yang merupakan organ perusahaan.
“Dengan demikian, DPS (Dewan Pengawas Syariah) bukan bagian dari karyawan apalagi pejabat bank syariah,” ucap Wahiduddin.
Satu Kesatuan
Menyikapi adanya keberatan yang disampaikan KPU (Termohon) dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Pihak Terkait) terhadap permohonan yang dibacakan Pemohon adalah lebih banyak naskah yang bertanggal 10 Juni 2019, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa kendati dalam ketentuan Pasal 475 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak disebutkan adanya perbaikan permohonan, Mahkamah tetap menerima naskah yang menurut Pemohon adalah perbaikan permohonan dengan tidak memberikan stempel perbaikan permohonan. Hal ini, tambah Enny, dilakukan atas pertimbangan fakta hukum yang dihadapkan antara ketentuan yang mengatur tentang PHPU Presiden 2019 dengan persoalan faktual yang dihadapi Mahkamah yang berkaitan dengan adanya hari libur panjang.
“Dengan mempertimbangkan rasa keadilan dan secara substansial tidak merugikan para pihak pencari keadilan, maka Mahkamah berpendapat naskah yang menurut Pemohon sebagai perbaikan permohonan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan naskah permohonan yang diajukan Pemohon bertanggal 24 Mei 2019 yang diregistrasi dengan Nomor 01/ARPK-PRES/PAN.MK/2019 bertanggal 11 Juni 2019,” urai Enny di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Pelanggaran Pemilu
Pemohon mendalilkan adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan Pilpres 2019. Menanggapi dalil Pemohon ini, Mahkamah menyebutkan bahwa UU Nomor 7 Tahun 2017 mengkonstruksikan proses penyelesaian masalah hukum proses pemilu, baik pelanggaran maupun sengketa proses diselesaikan oleh lembaga penyelenggara pemilu, yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Adapun untuk meyelesaikan perselisihan hasil pemilu, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 475 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 secara eksplisit mengatur bahwa keberatan yang dapat diajukan ke MK hanya keberatan hasil pemungutan suara. Kecuali, lembaga-lembaga yang diberi wewenang dalam UU Pemilu tersebut tidak melaksanakan wewenangnya. Namun, apabila lembaga-lembaga yang diberi wewenang telah melaksanakan tugasnya, terlepas dari apapun putusan yang telah diberikan kepada peserta pemilu, Mahkamah tidak berwenang memeriksa dan memutus permohonan kualitatif yang dimaksud.
“Telah terang bahwa kewenangan untuk menyelesaikan pelanggaran administratif pemilu yang bersifat TSM ada di tangan Bawaslu di mana hal itu harus telah terselesaikan pada tahapan proses sebelum KPU menetapkan perolehan suara secara nasional,” jelas Hakim Konstitusi Manahan M.P.Sitompul dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Situng Pilpres vs DPD
Secara bergantian Hakim Konstitusi membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan PHPU Presiden 2019. Pertimbangan Hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konsitusi Saldi Isra menanggapi dalil Pemohon mengenai adanya keanehan dalam Situng KPU. Ahli yang dihadirkan Pemohon dalam persidangan membandingkan perolehan suara Pemilu Presiden dengan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menanggapi hal ini, Mahkamah berpendapat hal tersebut tidaklah tepat karena pemilihan dalam DPD hanya terbatas pada pemilih yang berdomisili sesuai dengan provinsi wilayah pemilihan DPD. Secara faktual, surat suara dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden hanya memilih satu di antara dua paslon. Sedangkan dalam pemilihan anggota DPD surat suara berisi sejumlah calon untuk provonsi tertentu bahkan mencapai puluhan dan ratusan gambar calon. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.
Sebelumnya pada pada sidang yang digelar Jumat (14/6/2019) lalu, Pasangan Prabowo-Sandi (Pemohon) mendalilkan adanya kecurangan yang bersifat TSM dalam pelaksanaan Pilpres 2019. Selain itu, Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan, di antaranya cacat formil persyaratan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 01 Ma’aruf Amin yang sejak pencalonan hingga sidang pendahuluan digelar masih berstatus pejabat BUMN. Kemudian, Pemohon juga mendalilkan kecurangan lainnya yang telah dilakukan Pihak Terkait dalam Pilpres 2019 yang telah digelar pada 17 April 2019 lalu. (Sri Pujianti/Nur Rosihin Ana).