JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Pasal 285 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Selasa (2/4/2019). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 23/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh calon legislatif Lucky Andriyani. Dirinya menguji aturan terkait pencabutan hak politik.
Pasal 285 UU Pemilu menyatakan, “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengambil tindakan berupa: a) Pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari daftar calon tetap; atau b) Pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai calon terpilih.”
Dalam permohonannya, Pemohon menyebutkan bahwa seharusnya pada Pasal 285 UU Pemilu tersebut ditambahkan frasa “yang telah dinyatakan dicabut hak politiknya melalui amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” sehingga pasal tersebut berbunyi, “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang telah dinyatakan dicabut hak Politiknya melalui Amar Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengambil tindakan berupa; a) Pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari daftar calon tetap; atau b) Pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai calon terpilih.”
Menurut Pitra Romadoni Nasution selaku kuasa hukum, dengan diubahnya pasal a quo, Pemohon merasa akan mendapatkan kepastian hukum dan rasa keadilan. Pemohon juga menilai tidak akan merasa khawatir dengan adanya perubahan itu, dikarenakan ada putusan pengadilan yang menyatakan hak politik seorang peserta pemilu dicabut. Pemohon beranggapan bahwa apabila Pasal 285 UU Pemilu tidak diubah atau tidak ada penambahan, maka pasal a quo sangat bertentangan dengan Pasal 35 angka 1 ayat (3), Pasal 38 KUHP, dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. “Selain itu, dengan diubahnya Pasal 285 UU Pemilu, maka keadilan bagi setiap warga negara Indonesia sudah bisa dirasakan atau mendapatkan suatu keadilan di negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,” tegasnya.
Dengan alasan-alasan tersebut, Pitra meminta MK untuk menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk mengubah Pasal 285 UU Pemilu dengan menambahkan frasa “yang telah dinyatakan dicabut hak politiknya melalui amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon memperjelas kedudukan hukumnya. Dirinya baru mengetahui Pemohonnya ketika melihat suara kuasa yang ada. Terkait kerugian yang diderita, Pemohon mendalilkan tentang sebagai pembayar pajak. Padahal yang dipermasalahkan dalam permohonan terkait dengan pencabutan hak dipilih dalam pemilihan legislatif. “Selain itu, Pemohon adalah caleg. Tetapi tidak menyertakan bukti sebagai caleg dalam Permohonan,” ujarnya.
Sementara Wakil Ketua MK Aswanto mempermasalahkan identitas karena Pemohon tidak mencantumkan identitasnya di bagian depan permohonan. "Seharusnya di bagian ini ada identitas Pemohon," tegasnya.
Kemudian, ujar Aswanto, bagian pokok permohonan dirasa masih minim, yakni hanya terdiri atas tiga paragraf. Hal ini menyebabkan MK belum bisa melihat jelas kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Adapun dalam alat bukti, kata dia, Pemohon malah mencantumkan NPWP kuasa hukumnya, padahal yang mesti dicantumkan adalah NPWP milik Pemohon. Terakhir, dirinya juga meminta agar alasan permohonan lebih dielaborasi. (Arif Satriantoro/LA)