Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Jaminan Produk Halal). Putusan Nomor 5/PUU-XVI/2018 tersebut dibacakan pada Rabu (21/2) di Ruang Sidang Pleno MK. “Menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim lainnya.
Paustinus Siburian selaku Pemohon yang beragama Katolik dirugikan atau setidaknya berpotensi dirugikan oleh berlakunya ketentuan yang dimohonkan pengujian, yaitu bagian Menimbang huruf b, Pasal 1 angka 2, Pasal 3 huruf a, Pasal 4 juncto Pasal 1 angka 1, dan Pasal 18 ayat (2) UU Jaminan Produk Halal. Menurut Pemohon, potensi kerugian konstitusional terjadi karena UU a quo terutama ketentuan yang dimintakan pengujian mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia untuk memperoleh sertifikat halal sebagaimana konsep halal yang diajarkan oleh agama Islam.
Sedangkan agama Katolik yang dianut Pemohon tidak mengajarkan konsep halal yang diakomodasi oleh UU a quo. Pemohon merasa bahwa kewajiban sertifikasi halal demikian akan menyulitkan Pemohon untuk memperoleh dan/atau mengkonsumsi produk tertentu yang menurut Pemohon diperlukan, tetapi menurut ajaran agama Islam masuk dalam kategori haram.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto, Mahkamah berpendapat tidak dapat memahami apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Pemohon. Sebab, meskipun terdapat rumusan petitum dalam permohonan tersebut namun rumusan petitum tersebut tidak lazim dan membingungkan.
Terlebih lagi, petitum dimaksud tidak sejalan dengan posita permohonan Pemohon. Padahal posita dan petitum permohonan merupakan hal yang sangat fundamental bagi Mahkamah dalam menilai dan memutus setiap perkara. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur libel) dan karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
“Menimbang berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur libel) dan karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” tegas Hakim Aswanto.
Selain itu, Paustinus memandang penggunaan kata ‘selain’ dalam Pasal 18 ayat (2) membawa pada ketidakpastian. Ditambah lagi tidak terdapat kejelasan mengenai definisi dari syariat Islam. (ARS/LA)