Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para pekerja perseorangan yang melakukan uji materiil atas aturan PHK bagi para pekerja yang berstatus suami-istri dalam satu perusahaan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Kamis (14/12) di Ruang Sidng Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan frasa ‘kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama’ dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Arief Hidayat saat pembacaan amar putusan.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan melanggar hak konstitusional para pemohon. Pasal 153 ayat (1) huruf f menyatakan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: (f) pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”.
Para Pemohon menilai berpotensi kehilangan pekerjaannya akibat perkawinan sesama pegawai dalam satu perusahaan apabila hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Selain itu, Pemohon mendalilkan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena membatasi hak asasi manusia. Tak hanya itu, ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan mengenai pelarangan perkawinan sesama pegawai dalam satu perusahaan pada kenyataannya bertentangan dengan ketentuan pasal lain dalam UU yang sama juga UU lainnya, seperti UU Perkawinan dan juga UU Hak Asasi Manusia.
Adanya pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan dinilai tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dimaksud. Demikian diucapkan Hakim Konstitusi Aswanto saat pembacaan pertimbangan hukum Perkara Nomor 13/PUU-XV/2017 yang dimohonkan Serikat Pekerja PLN tersebut. Aswanto juga menyebut tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan.
Terkait dalil Pemerintah, DPR dan APINDO sebagai Pihak Terkait, bahwa pemberlakuan pasal tersebut untuk mencegah hal-hal negatif yang terjadi di lingkungan perusahaan dan membangun kondisi kerja yang baik dan profesional seperti yang didalilkan Pihak Terkait (APINDO), Mahkamah berpendapat alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional sebagaimana termuat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Adapun kekahawatiran atas hal tersebut, perusahan dapat mencegah dengan merumuskan aturan perusahaan yang ketat sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja yang tinggi. Mahkamah juga menilai argumentasi demikian tidak selalu relevan untuk diterapkan tanpa memperhatikan keseimbangan kedudukan para pihak yang membuat persetujuan tersebut ketika persetujuan itu dibuat. Dalam kaitan ini, antara Pengusaha dengan pekerja/buruh berada dalam posisi yang tidak seimbang sebab pekerja/buruh adalah pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan.
“Dengan adanya posisi yang tidak seimbang tersebut, maka dalam hal ini filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi. Berdasarkan pertimbangan demikian maka kata “telah” yang terdapat dalam rumusan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 tidak dengan sendirinya berarti telah terpenuhinya filosofi prinsip kebebasan berkontrak. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum,” tandas Aswanto. (Sri Pujianti/LA)