Abdul Rahman C. DG Tompo sebagai pemohon pengujian aturan yang membatasi peninjauan kembali (PK) untuk perkara perdata memperbaiki permohonan. Sidang kedua pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) dengan Nomor perkara 108/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Kamis (5/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Diwakili Saharuddin Daming, pemohon memperbaiki kedudukan hukumnya sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. “Menjadi fokus perbaikan naskah permohonan kami adalah sistematika dari legal standing yang memang menjadi sangat urgent dalam permohonan ini,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon menyampaikan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya dua pasal, yakni Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman. Kedua pasal tersebut menyatakan:
Pasal 66 ayat (1) UU MA:
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman:
Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Pemohon menilai dua pasal yang melarang PK untuk perkara perdata bertentangan dengan tiga putusan MK sebelumnya mengenai PK. Akan tetapi, lanjut Daming, ketiga permohonan tersebut hanya berlaku untuk perkara pidana, bukan perkara perdata seperti yang dialami pemohon. Hal inilah yang menyebabkan pemohon merasa terdiskriminasi.
“Klien saya tidak memperoleh kesempatan lagi untuk memperoleh keadilan oleh karena adanya undang-undang yang tidak memperkenankan seorang yang berperkara secara perdata untuk mengajukan PK lebih dari satu kali,” ujar Daming di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
Oleh karena itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Tak hanya itu, Pemohon juga meminta agar Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang mengenai permohonan PK dapat diajukan lebih dari satu kali dalam perkara pidana. Terakhir, Pemohon meminta Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali pada pengajuan permohonan PK lebih satu kali dalam perkara pidana, perdata, maupun perkara lainnya. (Lulu Anjarsari/lul)