Pasal 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) – Perkara No. 34/PUU-XIV/2016 diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/4) sore. Pemohonnya adalah tiga orang putra asli daerah Papua, yakni Hofni Simbiak, Robert D. Wanggai, Benyamin Wayangkau.
Pasal 12 UU Otsus Papua menyebutkan, “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. Orang asli Papua; b. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara; d. Berumur sekurang-kurangnya 30 tahun; e. Sehat jasmani dan rohani; f. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua …”
Pemohon mendalilkan bahwa otonomi khusus Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan ini juga merupakan kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua. Termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang asli Papua melalui para wakil adat, agama dan kaum perempuannya.
“Keberadan pasal yang diuji merugikan para Pemohon atau setidak-tidaknya berpotensi merugikan karena membeda-bedakan persyaratan untuk menjadi kepala daerah kabupaten/kota dengan tingkat provinsi serta berpotensi mempersempit daya saing para Pemohon menjadi kepala daerah. Sedangkan tujuan dari pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus tidak lain untuk menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama,” urai Heru Widodo, kuasa hukum Pemohon kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
“Tujuan para Pemohon sebagai orang asli Papua mengajukan permohonan ini adalah agar dapat ikut serta dalam pemilihan kabupaten atau kota dalam suasana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat pada 2017 secara serentak,” tambah Heru.
Pemohon berdalih, pengutamaan orang asli Papua dalam konteks pemilihan kepala daerah di wilayah Papua sesuai dengan semangat UU Otsus Papua, dan secara konstitusional perlakuan khusus tersebut dapat dibenarkan. Namun, apabila terdapat ketentuan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal tersebut melanggar HAM dan hak konstitusional warga negara, sehingga dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Pemohon, tindakan yang bersifat khusus ini bertujuan untuk mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu dalam mengejar kemajuan, sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat pada umumnya yang jauh lebih maju, bukan merupakan tindakan yang bersifat diskriminatif.
Persyaratan “harus orang Papua asli” merupakan pengakuan serta penghormatan atas satuan pemerintahan daerah di Papua dan Papua Barat, maka seharusnya pemberlakuan persyaratan tersebut tidak hanya untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur saja. Tetapi juga jabatan kepala daerah tingkat kabupaten maupun walikota pun diberlakukan persyaratan yang sama.
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon agar mempertajam posita dan pokok permohonan. “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 nanti coba dikritisi, diuraikan. Tadi disinggung disampaikan oleh kuasa hukum bahwa maksud otonomi khusus untuk lebih memberikan kemajuan di bidang ekonomi dan sosial budaya masyarakat Papua. Ini coba nanti diuraikan lebih lengkap,” kata Wahiduddin.
Sementara itu Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempertanyakan hak-hak konstitusional Pemohon yang dilanggar oleh UU Otsus Papua. Menurut Maria, syarat orang asli Papua sebagai pemimpin, kekhususannya memang pada provinsi dan tidak pada kabupaten atau kota.
“Kalau ini diikuti seperti ini, nanti di Yogyakarta juga meminta bahwa kalau gubernur dan wakil gubernurnya sekarang adalah sultan dan paku alam, nanti bupati dan wakil bupatinya juga harus keturunan mereka,” tandas Maria. (Nano Tresna Arfana)