Dua orang ahli hadir dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan dan Kesehatan Hewan), Senin (11/4). Mereka adalah Dr. drh. Soehadji dan Dr. drh. Sofjan Sudardjat, keduanya merupakan pensiunan Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian.
Dalam keterangannya sebagai ahli yang dihadirkan oleh Pemohon, Soehadji menilai pengaturan zona adalah sikap kekuranghati-hatian pembentuk undang-undang dan akan membahayakan peternakan di Indonesia. Ia juga berpendapat keterangan Pemerintah pada sidang sebelumnya terlalu filosofis. Padahal, kenyataan di lapangan berbeda dengan filosofi yang dipaparkan.
“Pemerintah di dalam sidang yang lalu selalu mengatakan filosofi. Barangkali ini diartikan di dalam lapangan agak lain, Pak,” tuturnya.
Sementara itu, Sofjan Sudardjat yang juga merupakan ahli Pemohon menerangkan, kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat memberikan peluang masuknya penyakit hewan menular PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) atau penyakit hewan menular lainnya ke Indonesia.
Menurut Sofjan, apabila Indonesia tetap melakukan impor ternak dan bahan asal ternak dari negara tertular, walaupun dari zona yang bebas akan berisiko kemungkinan masuknya tipe-tipe PMK yang belum pernah masuk ke Indonesia, sehingga negara Indonesia akan tertular penyakit lebih dari 100 tahun. Generasi Indonesia akan menuai dampak negatifnya.
“Kalau ternak milik petani peternak tertular PMK dan mati atau dimusnahkan karena aturan, tidak ada penggantian. Dalam hal ini, berarti petani peternak menerima getah kerugian akibat pemerintah keliru menetapkan kebijakan. Akibat yang sangat mengerikan dalam jangka panjang adalah PMK dapat mengganggu proses reproduksi ternak,” tegas Sofjan.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 129/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh perorangan warga negara Indonesia, yaitu Teguh Boediyana, Dr. drh. Mangku Sitepu, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, S.Sos, DR. IR. H. Rachmat Pambudy, Mutowif, dan Dedi Setiadi.
Pemohon merupakan dokter, peternak, dan pedagang hasil ternak yang merasa dirugikan dan/atau potensial dirugikan hak-hak konstitusionalnya akibat pemberlakuan zona base di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Pasal 36C ayat (1), Pasal 36C ayat (3), Pasal 36D ayat (1), dan Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah karena prinsip minimum security dengan pemberlakuan zona tersebut mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.
Pemohon menilai UU Peternakan dan Kesehatan Hewan justru semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah ketergantungan yang tinggi pada impor ternak dan produk ternak. Pemohon berpendapat, seharusnya pemerintah berbenah memperbaiki industri peternakan dan peternakan dalam negeri, karena pemberlakuan sistem zona tersebut merugikan hak konstitusional Pemohon untuk hidup sehat, sejahtera, aman, dan nyaman dari bahaya penyakit menular dari hewan ataupun produk hewan yang dibawa karena proses impor dari zona yang tidak aman. (Nano Tresna Arfana/lul)