Tidak efisiennya Perusahaan Listik Negara (PLN) bukan alasan yang dapat membenarkan untuk menyerahkan pengelolaan listrik kepada pihak swasta. PLN harus diperbaiki lebih profesional untuk menjamin pasokan listrik bagi masyarakat. Perbaikan tersebut menjadi penting agar tidak terjadi seperti di Negara Filipina, di mana terjadi monopoli ketika pengelolaan listrik diserahkan ke swasta. Hal tersebut diungkapkan Syarifuddin Mahmudsyah, ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) pada Senin (16/11) siang.
“Ternyata begitu swasta menguasai listrik di Filipina, harga listrik naik lebih daripada 100%. Ternyata yang menguasai listrik swasta di Filipina itu adalah baron-baron. Apakah baron-baron itu mungkin terjadi juga di Indonesia? Inilah yang harus kita pikirkan, jangan sampai dalam hal kelistrikan ini baron-baron menguasai kelistrikan Indonesia kalau ini diserahkan ke swasta,” kata Syarifuddin kepada Majelis yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat.
“Dan ternyata perkembangan yang terjadi dari tahun 1992 sampai 2009, bukannya makin baik. Filipina masih tetap gelap gulita dan harga listriknya juga naik di atas 100%,” tambah Syarifuddin.
Syarifuddin juga membandingkan pasokan energi listrik di beberapa negara. “Kita bisa melihat bahwa di Tiongkok pasokan energi listrik bisa mencapai 2.140 dolar per kapita. Sedangkan kita sekarang ini sekitar 4.000 dolar per kapita. Rasio elektrifikasi kita juga masih memperihatinkan,” ucap Syarifuddin.
Pada kesempatan itu, Pemohon juga menghadirkan Hadi Subhan sebagai ahli. Hadi kemudian menerangkan bahwa pekerja outsourcing diperlukan untuk kegiatan penunjang, bukan untuk kegiatan utama perusahaan. “Outsourching ini diperlukan di dalam hal untuk kegiatan penunjang, tetapi sangat dilarang atau tidak diperbolehkan untuk kegiatan utama. Kenapa kegiatan penunjang itu boleh di-outsourchingkan? Karena yang pertama bahwa kegiatan outsourcing sejatinya adalah hanya kegiatan yang tidak merupakan fokus daripada tujuan perusahaan itu. Sehingga apabila perusahaan meng-outsourcingkan kegiatan penunjang, maka perusahaan itu memiliki waktu untuk lebih berkonsentrasi kepada tujuan utama dari perusahaan,” papar Hadi.
Sebagaimana diketahui, Perkara yang terdaftar dengan momor 111/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Adri dan Eko Sumantri, masing-masing menjabat sebagai Ketua Umum dan Sekjen DPP Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (PLN). Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan telah mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan, ketentuan tersebut dapat mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.
Menurut Pemohon, materi muatan pasal-pasal yang diuji membuka selebar-lebarnya peran serta korporasi swasta nasional, multinasional, maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik. Pasal-pasal yang diujikan, menurut Pemohon juga merupakan pengulangan dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK dalam Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Ketentuan yang diujikan juga memuat mengenai pengelolaan usaha tenaga listrik secara terpisah (unbundling) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat untuk memupuk keuntungan usaha dan perlakuan tarif yang berbeda. Berdasarkan frasa ‘prinsip usaha yang sehat’, lanjut Pemohon, terdapat pemahaman bahwa dalam penetapan harga jual tenaga listrik ke konsumen, maka pemerintah dan pemerintah daerah memerhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Untuk itu, ada variabel yang memengaruhi harga jual tenaga listrik, yakni nilai keuntungan bagi badan usaha. Hal ini yang menurut para Pemohon berpotensi mengakibatkan adanya kartelisasi, sehingga tarif tenaga listrik menjadi mahal. (Nano Tresna Arfana/IR)