Jakarta - Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri memberikan pidato di acara seminar nasional peringatan Hari Konstitusi di kompleks parlemen Senayan. Megawati menekankan perlunya mengembalikan GBHN sebagai garis-garis besar haluan negara.
Mega kemudian memaparkan bagaimana sistem demokrasi yang dikembangkan Indonesia. Demokrasi ala Indonesia tersebut, dikatakan jauh lebih maju daripada pemikiran John Lock dan Montesque sekalipun.
"Karena itulah, desain ketatanegaraan kita, tidak mengacu pada pemisahan kekuasaan sebagaimana dikenal dalam trias politica. Kita menganut sistem ketatanegaraan ala Indonesia sendiri, yang mengandung berbagai ketentuan pokok, seperti: Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat); Sistem konstitusional, di mana pemerintah berdasar atas konstitusi sebagai hukum dasar; Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, dan beberapa kunci pokok lainnya," kata Mega dalam pidato di acara Seminar Nasional Kebangsaan Peringatan Hari Konstitusi di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/8/2015).
Berikut pidato Megawati selengkapnya:
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Damai Sejahtera bagi kita semua
Om Swastiastu
Sebelumnya, marilah kita lebih dahulu bersama-sama memekikkan salam nasional kita,
Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wata''ala, atas rahmat dan hidayahNya, sehingga Negara Republik Indonesia yang kita cintai bersama, mencapai usianya yang ke 70.
Dalam satu tarikan nafas kemerdekaan tersebut, pada hari ini, kita memperingati hari konstitusi. Peringatan ini sangatlah penting. Konstitusilah yang menjabarkan, seluruh semangat kemerdekaan Indonesia dalam suatu tatanan pemerintahan negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Saudara-saudara sekalian,
Saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, untuk menjadi pembicara kunci dalam seminar yang sangat penting ini. Meski saya sendiri bukanlah ahli konstitusi. Saya juga bukan ahli hukum tata negara. Kehadiran saya di sini, dalam kapasitas saya sebagai Presiden Republik Indonesia kelima, dan mungkin, karena saya dipandang sebagai orang yang mengenal secara langsung, dan terus menerus berproses memahami keseluruhan dialektika pemikiran Bung Karno, Proklamator, dan Bapak Bangsa Indonesia.
Saudara-saudara sekalian,
Saya ingin menegaskan, bahwa memahami keseluruhan semangat, substansi, dan makna yang terkandung dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 yang asli, harus terlebih dahulu memahami keseluruhan pemikiran para pendiri negara, sebagaimana tertuang dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Intermezo. Saya selalu mencoba berimajinasi, bahkan berkontemplasi, dengan menghadirkan diri saya dalam sidang BPUPKI dan PPKI tersebut. Sidang berlangsung dalam "pengawasan" Pemerintahan Jepang, bahkan terkadang dalam suasana mencekam, disertai ancaman hadirnya kekuatan Sekutu. Namun, dalam situasi tersebut, mengapa justru menjadi magnet yang menyatukan dan mampu menghasilkan pemikiran besar, yang berpijak dalam sanubarinya rakyat Indonesia? Mengapa para pendiri bangsa mampu mensitesakan pemikirannya, dan sekaligus membahasakan kehendak rakyat sebagai satu cita-cita bersama Indonesia Merdeka? Saya juga sering membandingkan, dalam suasana terjajah, kita bisa mengekspresikan seluruh kehendak rakyat Indonesia, sehingga pemimpin dan rakyat, bersatu dalam satu kesepahaman. Namun mengapa dalam alam merdeka, justru terdapat "kesenjangan pemahaman" antara elit dan rakyatnya? Bahkan amanat penderitaan rakyat tidak bisa ditangkap dan disuarakan dengan baik dalam suasana kemerdekaan kita.
Saudara-saudara,
Pendekatan yang sama saya lakukan, ketika kita mengkaji kembali terhadap Wewenang MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana menjadi tema Seminar Konstitusi pada hari ini.
Berbicara tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, dari namanya saja, "Majelis", telah tergambarkan makna yang membedakan antara majelis ini dengan lembaga negara lainnya, seperti Dewan Perwakilan Rakyat. MPR merupakan majelis di mana rakyat mengadakan permusyawaratan melalui para wakilnya. Karena merupakan penjelmaan rakyat, maka oleh para pendiri bangsa, kedudukan majelis ini sangatlah tinggi, dan menjelma menjadi representasi kedaulatan rakyat itu sendiri. Inilah desain kelembagaan awal. Suatu desain sistem tata negara Indonesia yang menyatu dengan kebudayaan bangsa. Suatu demokrasi yang memadukan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi; atau suatu demokrasi yang diukur dari kemampuannya untuk mewujudkan "kesejahteraan yang berkeadilan sosial". Para pendiri bangsa juga terus mengembangan demokrasi yang hidup dalam tradisi tolong menolong --- yang kuat membantu yang lemah ---atau gotong royong. Suatu demokrasi yang mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Intermezo. Lihatlah tradisi dalam pengambilan keputusan di desa-desa, yang menempatkan sosok yang bijaksana, umumnya dari yang dituakan, untuk memberikan arahan, dan bimbingan dalam musyawarah. Itu tidak ada di barat.
Saudara-saudara sekalian,
Demokrasi ala Indonesia tersebut, dikatakan jauh lebih maju daripada pemikiran John Lock, dan Montesque sekalipun. Karena itulah, desain ketatanegaraan kita, tidak mengacu pada pemisahan kekuasaan sebagaimana dikenal dalam trias politica. Kita menganut sistem ketatanegaraan ala Indonesia sendiri, yang mengandung berbagai ketentuan pokok, seperti: Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat); Sistem konstitusional, dimana pemerintah berdasar atas konstitusi sebagai hukum dasar; Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, dan beberapa kunci pokok lainnya.
Dengan tata pemerintahan negara yang seperti itu, maka MPR hadir sebagai tempat dari kedaulatan rakyat (locus of sovereignty). Atas kedudukan ini, MPR merupakan Lembaga Negara Tertinggi dengan kewenangan salah satunya adalah menyusun Garis Besar Haluan negara (GBHN).
Saudara-saudara sekalian,
Saya tidak akan berbicara lebih lanjut bagaimana kewenangan MPR dalam UUD 1945 yang asli. Prinsip yang ingin saya tegaskan di sini adalah bahwa keseluruhan konsepsi tentang sistem pemerintahan negara, yang dirumuskan dengan sangat baik oleh para pendiri bangsa, merupakan sistem yang paling sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Bahkan, sistem tersebut merupakan suatu konsepsi yang mendahului jamannya, paripurna, dan berurat berakar dengan seluruh gambaran ideal terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia. Saya juga percaya dengan keseluruhan niatan suci dan sikap kenegarawanan para pendiri negara, ketika menyusun Undang-Undang Dasar tahun 1945. Atas dasar hal itulah, maka pijakan saya di dalam menjawab apa yang termuat dalam Kerangka Acuan (term of reference) dari seminar ini, sangatlah jelas. Bahwa berbicara tentang mengkaji wewenang MPR harus berakar pada prinsip, semangat, jiwa dan isi dari keseluruhan pemikiran yang melatarbelakangi perumusan UUD 1945 yang asli.
Sikap ini penting, mengingat setelah reformasi berjalan lebih dari 17 tahun lamanya, kita melihat kehidupan demokrasi penuh dengan kegaduhan politik. Benturan kewenangan antar lembaga negara menjadi pemberitaan sehari-hari. Tindakan "ultrapetita" sering menjadi momok yang menakutkan, ketika setiap lembaga hanya berpijak pada egonya masing-masing. Saya sungguh bersedih, ketika setiap institusi lembaga negara berlomba memperkuat kewenangan diri sendiri, dan menegasikan kewenangan lembaga lain, hingga terjadilah rivalitas kewenangan yang melahirkan konflik antar lembaga negara.
Saudara-saudara sekalian,
Reformasi memang jalan terjal yang harus kita lalui. Amandemen UUD 1945 sudah dilakukan 4 kali. Pada awalnya, amandemen dimaksudkan untuk semakin mendekatkan bentuk ideal sebuah negara dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme. Kita juga mencatat obyektivitas dari amandemen, yang antara lain bertujuan untuk menciptakan check and balances diantara penyelenggara negara; pembatasan masa jabatan presiden; pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung; Kebebasan pers dan lain-lain.
Intermezo. Dengan pemikiran jernih, tanpa bermaksud menyalahkan masa lalu, saya sering bertanya pada diri sendiri, mengapa akhir-akhir ini kita justru mencoba menerapkan sistem lain, yang secara filosofis berbeda, sehingga terasakan sebagai hal yang aneh? Mengapa kita begitu mudah mengambil model sistem tata pemerintahan negara lain, yang dari aspek geografis saja berbeda. Sistem tata pemerintahan di suatu negara benua, tentunya tidak begitu saja diterapkan untuk negara Indonesia yang kepulauan. Bahkan, kita terlalu cepat menerapkan model tata pemerintahan negara lain, namun melupakan proses pembumian sebagai negara kepulauan. Amerika Serikat yang sering menjadi rujukan dalam system presidensial saja, memerlukan lebih dari 200 tahun untuk melakukan amandemen konstitusinya. Sementara kita begitu cepat merubah hukum dasar hanya karena suatu euforia.
Saudara-saudara,
Sekiranya saat ini kita melihat dengan jernih, nampak bahwa ketika amandemen dilakukan, hanya sedikit ruang yang tersedia untuk melakukan pembahasan terhadap dokumen otentik yang melatar-belakangi lahirnya konstitusi, seperti risalah sidang BPUPKI dan PPKI. Akibatnya amandemen terasa kehilangan pijakan sejarah.
Atas dasar hal tersebut, maka usulan untuk mengkaji wewenang MPR haruslah dilakukan dengan cermat; penuh kebijaksanaan, dan bukan sebagai suatu percobaan politik baru. Untuk itu, keseluruhan pemikiran yang berkaitan dengan landasan filosofis, dan bagaimana kewenangan MPR itu diletakkan, harus berpijak pada Sila Keempat Pancasila: "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan".
Kedaulatan haruslah berdasar atas "kerakyatan" dan "permusyawaratan" sebagai penjabaran semangat kekeluargaan. Prinsip kedaulatan rakyat ini cerminan tekad untuk menghapuskan penindasan akibat kolonialisme dan feodalisme, dalam semangat egalitarianisme. Cita kerakyatan menempatkan kedaulatan rakyat sebagai hukum tertinggi dalam demokrasi. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan atau golongan, dan sebagai pantulan semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia.
Dalam kaitan ini, Bung Karno meyakini bahwa syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Karena itu, dengan "asas kerakyatan" itu, negara harus menjamin bahwa setiap warganegara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Selain kedua ciri tersebut, demokrasi Indonesia juga mengandung ciri "hikmat-kebijaksanaan". Prinsip ini merefleksikan orientasi etis, bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan.
Saudara-saudara sekalian,
Dengan memahami Sila keempat dari Pancasila, dan disertai tekad untuk mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka menjadi sangat jelas, bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dibentuk, bukanlah majelis yang hanya bertindak sebagai "sidang gabungan" antara DPR dan DPD RI; bukan pula sekedar majelis yang memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga negara lainnya. Keseluruhan ruh dari majelis, sebagai penjelmaan dari kedaulatan rakyat Indonesia, dapat menjadi titik tolak seluruh kajian kita terhadap masa depan "MPR" ini. Atas dasar hal ini, saya berkeyakinan, bahwa hal-hal substansial terkait dengan kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan GBHN, sangatlah tepat menjadi bagian dari kewenangan MPR.
Dengan adanya GBHN, dapat ditegaskan bahwa negara Indonesia bukanlah "negara liberal" yang menyerahkan alokasi ekonomi pada mekanisme pasar. Negara Indonesia dikehendaki sebagai "negara sosial" (Negara kekeluargaan dan negara kesejahteraan), di mana negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Demikian halnya, dalam "negara sosial" tersebut, pemerintah bertanggung jawab mengatur distribusi yang adil atas kekayaan negara, sehingga tidak ada lagi rakyat yang kelaparan, ataupun yang meninggal sia-sia. Kerena itulah dalam "negara sosial" jaminan sosial bersifat wajib bagi seluruh warga negara.
Saudara-saudara sekalian,
Dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika meresmikan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Bung Karno memperkenalkan suatu ilmu geopolitik. Dengan ribuan pulau-pulau yang terangkai menjadi satu kesatuan negara berdaulat, dan keanekaragaman sukubangsa, adat-istiadat, dan adanya perbedaan tingkat kemajuan antar daerah, serta dengan pertimbangan geopolitik, Bung Karno memelopori suatu konsepsi Pembangunan Semesta dan Berencana. Pembangunan Semesta, berpijak dalam kesadaran geopolitik Indonesia dalam kesemestaan dunia.
Pembangunan semesta ini melihat Indonesia dari atas (as a vision), sehingga terangkailah Pulau yang satu dan lainnya, dalam kesatu-paduan antar pulau, menghasilkan progress kemajuan pembangunan yang selalu memerhatikan kultur, sumber daya, dan realitas obyektif setiap daerah. Pembangunan semesta berencana mengandalkan perencanaan dari bawah, dari kehidupan rakyat yang sebenar-benarnya, yakni amanat penderitaan rakyat itu sendiri.
Dengan pembangunan semesta berencana ini, maka kita melihat potensi dan kondisi setiap kepulauan secara berbeda. Di Jawa misalnya, merupakan daerah yang menjadi lintasan gunung berapi (ring of fire), tentu berbeda dengan Kalimantan, yang tidak memiliki gunung berapi. Perencanaan antar pulau Jawa, Sumatera, Papua, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan tentu berbeda, namun kesemuanya dalam satu kesemestaan Indonesia. Guna merealisasikan gagasan ini, maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional. Bobot "merancang" tentunya berbeda daripada sekedar merencanakan. "Merancang" mengandung makna lebih menyeluruh, dari aspek filosofi, konsepsi, dan perencanaan, hingga implementasi. Ketika segala sesuatunya sudah berjalan, dilakukanlah evaluasi, untuk tetap menempatkan kesemestaan Indonesia tersebut. Disinilah koreksi dapat dilakukan, agar keseluruhan hasil "rancangan" tersebut benar-benar mewujudkan cita-cita sosialisme ala Indonesia, dimana tidak ada penjajahan dalam seluruh bidang kehidupan.
Demikian halnya, atas kondisi rakyat Indonesia yang pada waktu itu memerlukan visualisasi terhadap arah masa depan pembangunan Indonesia, maka Bung Karno mendirikan Gedung Pola. Dengan Gedung Pola inilah, rakyat bisa mendapatkan gambaran, bagaimana jalan masyarakat adil dan makmur diwujudkan, termasuk pentingnya membangun semangat perjuangan dalam gerakan revolusi mental.
Saudara-saudara sekalian,
Tanpa bermaksud mengurangi keseluruhan makna tentang "GBHN", dalam pembahasan saya selanjutnya, tidak hanya GBHN yang seharusnya dikembalikan sebagai suatu kewenangan MPR. Saya sekaligus menekankan pentingnya MPR untuk menyusun konsepsi pembangunan Semesta dan berencana tersebut. Pembangunan Semesta memiliki fungsi penting dalam mewujudkan negara kekeluargaan dan kesejahteraan. Selain memberikan prinsip-prinsip direktif yang memberikan haluan pembangunan nasional secara terencana, bertahap, terstruktur dan berkelanjutan, juga memiliki fungsi untuk menjabarkan makna dan implementasi Pasal 33 UUD 1945. Pembangunan Semesta ini merupakan konsepsi agar kita dapat menjalankan Pancasila melalui jalan Trisakti.
Konsekuensinya, ketika nantinya gagasan Pembangunan Semesta dan Berencana ini diterima, maka lembaga negara lainnya, termasuk Presiden, dalam demokrasi kekeluargaan, tidak mengembangkan kebijakan sendiri. Presiden hadir sebagai mandataris MPR. Disinilah persoalan sering timbul, bahwa ketika kita berbicara tentang posisi politik Presiden tersebut, banyak yang mempertanyakan relevansinya dengan penguatan sistem presidensial yang menjadi tema utama konsolidasi demokrasi. Pemilihan Presiden secara langsung juga dianggap sebagai kondisi yang tidak memungkinkan Presiden menjalankan kebijakan MPR. Tegasnya, sistem presidensial sering diangap tidak memungkinkan kembali bagi presiden untuk bertindak sebagai "mandataris MPR" di dalam menjalankan konsepsi pembangunan semesta ataupun GBHN. Sebab, Presiden sudah memiliki visi dan misinya tersendiri.
Saya ingin menegaskan, bahwa soal presiden dipilih secara langsung adalah soal tata cara, bagaimana presiden dipilih. Tata cara ini bukanlah faktor penghambat bagi presiden, dan lembaga negara lain, untuk menjalankan Pembangunan Semesta dan Berencana yang ditetapkan oleh MPR. Dengan demikian, tata cara pemilihan Presiden dan wakil presiden secara langsung, janganlah dipertentangkan dengan hakekat MPR ketika mendapatkan mandat untuk merumuskan jalan bagi masa depan Indonesia. Lebih-lebih ketika kita mencermati kembali, bagaimana MPR hadir sebagai representasi dari rakyat itu sendiri, yang dilihat dari ketiga unsur yang membentuk MPR sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 yang asli, yakni perwakilan rakyat, perwakilan golongan, dan utusan daerah. Ketiganya mencerminkan ekpresi dan representasi dari seluruh kekuatan rakyat. Keterwakilan golongan inilah yang selanjutnya perlu dijabarkan lebih lanjut agar prinsip pengejawantahan rakyat benar-benar terpenuhi.
Dengan demikian, kajian menghadirkan kembali kebijakan dasar seperti Pembangunan Semesta Berencana, ataupun dalam jangka 5 tahunan berupa GBHN adalah bagian dari kesadaran untuk menjadikan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada keseluruhan hakekat pendiriannya. Memang masih diperlukan berbagai tahapan lebih lanjut, bahkan masih panjang jalan yang akan ditempuh. Namun ketika suasana kebatinan bisa kita satukan untuk kepentingan bangsa dan negara, saya yakin bahwa jalan itu akan terbuka lebar.
Bagi saya, yang terpenting saat ini adalah kemauan untuk memulai dialog, tukar pikiran, dan melakukan kajian secara jernih, terhadap pentingnya kehadiran MPR dalam gambaran idealnya. Disinilah semangat penyelenggara negara diperlukan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Prof. Soepomo, "Segala sistem ada baik dan jeleknya,... sistem mana saja tidak sempurna." Olah karena itu, hal yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membuat undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek. Atas dasar semangat dari Soepomo tersebut, maka keseluruhan upaya melalui seminar ini, bukanlah kerja sia-sia. Apa yang dilakukan melalui seminar ini, saya yakini, akan memperkuat kesadaran pentingnya permusyawaratan rakyat, di dalam menentukan jalan perwujudan cita-citanya.
Akhirnya, sebagai catatan penutup, dengan mengingat bahwa Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 bersumber pada Pancasila, maka diperlukan adanya dokumen otentik tentang pengertian falsafah dasar Pancasila sebagaimana dimaksudkan oleh para Pendiri Bangsa. Di sinilah saya berharap, agar Majelis Permusyawaratan Rakyat juga memelopori pembahasan tentang Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, yang berpijak pada spirit kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945. Demikian beberapa pemikiran yang dapat saya sampaikan. Terima kasih.
Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Damai Sejahtera bagi kita semua,
Om Santi Santi Om.
Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!
Megawati Soekarnoputri
PRESIDEN KELIMA REPUBLIK INDONESIA
(van/nrl)
Sumber: http://news.detik.com/berita/2994520/ini-pidato-lengkap-megawati-di-peringatan-hari-konstitusi