JAKARTA, KOMPAS.com - Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dinilai rawan diselewengkan kepala daerah yang kembali mencalonkan diri sebagai petahana, menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak Desember mendatang. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat, ada 122 calon petahana dari 810 pasangan calon dalam 269 daerah pelaksana Pilkada serentak.
Jumlah tersebut hampir 45 persen dari total daerah yang menyelenggarakan Pilkada.
"Biasanya sesuai Riset FITRA, petahana dalam Pilkada selalu memiliki nilai khusus, yaitu mempunyai 'sumber daya' anggaran dan birokrasi untuk memenangi persaingan untuk terpilih kembali dan mempertahankan kekuasaan," kata Sekretaris Jenderal FITRA, Yenny Sucipto, melalui siaran pers yang diterima wartawan, Senin (3/7/2015).
Berdasarkan catatan FITRA, ada tujuh celah yang biasa dimanfaatkan petahana untuk menggunakan APBD sebagai modal politik. Pertama, melalui pemberian bantuan dana sosial dan dana hibah.
Dana bansos dan hibah merupakan sumber daya anggaran yang paling sering digunakan petahana berkampanye. Dua pos anggaran tersebut cenderung dialirkan kepada basis-basis pemilih yang condong kepada petahana.
"Bahkan di Banten tahun 2011, dana bansos dialirkan ke keluarga dan organisasi pendukung petahana. Selain itu, dalam Pilkada di Sumatra Selatan 2012, bahkan Mahkamah Konstitusi memerintahkan Pilkada ulang karena petahana terbukti menggunakan dana bansos dan hibah untuk kepentingan mempengaruhi pemilih dengan pembagian barang dan jasa," tutur Yenny.
Modus kedua yang biasa dilakukan petahana adalah dengan membuat program-program populis mentoring Pilkada. Program populis yang biasanya berkaitan dengan kesehatan dan pendidikan ini cenderung mendadak dan tidak sesuuai dengan rencana pembangunan daerah. Program ini sengaja disusun untuk mempengaruhi warga agar kembali memillih petahana.
Modus ketiga yang biasa dilakukan kepala daerah tingkat provinsi dengan memberikan bantuan keuangan kepada kabupaten/kota yang menjadi basis dukungan petahana. Dengan demikian, sering terjadi ketimpangan nilai bantuan keuangan yang diberikan antara daerah penyelenggara dengan daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada.
"Dalam Pilkada serentak ini, disinyalir jika partai politik dan pengusungnya sama antara petahana gubernur dengan bupati, maka potensi penyalahgunaan bantuan keuangan daerah untuk kampanye menjadi sangat kuat," ujar Yenny.
Keempat, dengan menambah tunjangan gaji birokrat atau pegawai negeri sipil di daerah. Menurut FITRA, beberapa daerah petahana disinyalir telah menaikkan anggaran belanja birokrasinya menjelang Pilkada.
Kelima, mengalokasikan APBD untuk program pembangunan infrastruktur dadakan seperti pembangunan jalan. Menurut FITRA, sering ditemukan fenomena ketika petahana menjanjikan pembangunan jalan atau bahkan langsung membangun jalan yang rusak di daerah yang menjadi basis politiknya.
"Petahana ingin memengaruhi basis baru tersebut. Fenomena ini juga sering terjadi, di mana, di kampung-kampung, jalanan menjadi bagus menjelang Pilkada. Namun, setelah Pilkada rusak lagi namun tidak diperhatikan," kata Yenny.
Keenam, penyelewengan dana desa. FITRA mengaku mendapatkan laporan dari masyarakat mengenai potensi penyelewenangan dana desa untuk kepentingan Pilkada, khususnya oleh petahana. Modus ini rawan terjadi baik di level provinsi, kabupaten, hingga desa.
"Modusnya, ada desa yang belum mendapatkan dana desa dan akan segera dicairkan jika penduduk desa tersebut memilih si petahana. Modus ini terbaru seiring dengan adanya alokasi dana desa sejak APBNP 2015," ujar Yenny.
Modus ketujuh adalah dengan menyusupkan kepentingan petahanan dalam menyusun APBD-Perubahan 2015 dan APBD 2016. Momentum penyusunan APBD-P 2015 yang biasanya terjadi pada Agustus hingga Oktober rawan digunakan petahanan untuk mengubah postur APBD sehingga mendukung program yang akan dilakukan petahana demi mengambil hati pemilih.
Dengan demikian, program-program populis cenderung lebih banyak dibandingkan dengan pogram yang menjadi prioritas daerah. Sementara itu, dalam penyusunan RAPBD 2016, rawan terjadi deal deal politik antara pengusaha dengan para calon. "Di mana sumbangan berupa dana kampanye akan dikembalikan dengan alokasi anggaran proyek infrastruktur si pengusaha," kata Yenny.
Atas dasar itu, FITRA menilai perlu dilakukan pengawasan dan investigasi terhadap para petahana yang berpotensi menyalahgunakan APBD. Upaya ini dinilai perlu dilakukan untuk menyelamatkan politik anggaran sehingga hanya disusun atas kepentingan rakyat.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015/08/03/13481761/Tujuh.Celah.Penyelewengan.APBD.oleh.Petahana.Jelang.Pilkada