Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui hutan adat untuk dikelola masyarakat yang menempatinya. Juru Bicara AMAN, Wimar Witoelar mengatakan, usai putusan MK tersebut hingga kini belum diikuti peraturan pelaksanaannya.
"Dengan keluarnya keputusan MK tiga tahun lalu yang mengakui masyarakat adat adalah masyarakat yang berhak atas hutan," kata Wimar seusai bertemu Jokowi di Istana Merdeka di Jakarta, Kamis (25/6).
Padahal, lanjut Wimar, putusan MK tersebut bermanfaat bagi hutan dan masyarakat adat. "Putusan MK bermanfaat untuk hutan karena bisa cegah perubahan iklim melalui kearifan tradisional yang diketahui. Tapi putusan MK tidak disusul peraturan pelaksana, AMAN terus perjuangkan," katanya.
Wimar mengatakan, dengan adanya peraturan pelaksana ini diharapkan empat juta hektar hak atas masyarakat adat bisa terwujud. Menurutnya, dalam pertemuan dengan Jokowi, Presiden memberi isyarat baik atas keinginan AMAN ini. "Presiden telah beri lampu hijau setelah diskusi dengan ibu Siti (Nurbaya/Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Seskab dan Setneg," katanya.
Sekjen AMAN, Abdon Nababan mengatakan, Menteri Siti dan Aman sedang siapkan Instruksi Presiden (Inpres) untuk laksanakan putusan MK itu. "Tadi ada penegasan dari presiden untuk laksanakan, jadi setelah pertemuan ini, kami akan bekerja untuk memastikan Inpres untuk pelaksanaan putusan MK," katanya.
Sebagaimana diketahui, MK telah mengabulkan sebagian uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan AMAN dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu. Alhasil, jutaan hektar hutan adat yang tadinya diklaim sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya.
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa hutan ada bukan milik negara. MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam UU Kehutanan itu. Misalnya, MK menghapus kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
MK juga menafsirkan bersyarat Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3).
“Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,'” ucap Ketua Majelis MK M. Akil Mochtar saat membacakan putusannya di Gedung MK, pada pertengahan Mei 2013 silam.
Mahkamah berpendapat harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.
Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt558be31f3953a/bahas-putusan-mk--aman-temui-jokowi