Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat merasa prihatin dengan kehidupan hukum di Indonesia. “Kehidupan hukum Indonesia tidak bisa dijalankan semestinya. Lantas yang salah siapa? Apa karena sumber daya manusianya? Sumber daya manusianya itu yang membentuk dan menolak adalah perguruan tinggi hukum,” ucap Arief saat menjadi keynote speaker Diskusi Panel Nasional “Peningkatan Kualitas Pendidikan Hukum Indonesia di Era Globalisasi” yang diselenggarakan Universitas Tarumanegara pada Rabu (20/5) siang di Jakarta.
Padahal, kata Arief, konsepsi hukum yang dibangun di Indonesia menurut konstitusi lebih bagus daripada kehidupan hukum yang diinginkan oleh negara-negara lain, baik sistem common law, civil law dan sebagainya.
“Hukum di Indonesia adalah hukum yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa. Konsepsi negara Indonesia adalah religious welfare state atau negara kesejahteraan yang Berketuhanan,” ujar Arief.
“Kita lihat misalnya putusan Mahkamah Agung, putusan Mahkamah Konstitusi, peradilan di Indonesia, pembentukan hukum di Indonesia semuanya mendasarkan pada atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa,” tambah Arief.
Dengan demikian, ungkap Arief, hukum harus dijalankan dari pengaruh, landasan yang disinari oleh sinar Ketuhanan. Namun, dalam praktiknya bidang hukum di Indonesia tidak mampu memberikan kesejahteraan lahir batin. “Kita lihat misalnya ada kasus hakim memeras, menerima suap, dan sebagainya,” kata Arief.
“Jadi, hakim di Indonesia sepertiga masuk surga, sepertiga lainnya masuk neraka, tapi sepertiga lagi masuknya kemana? Neraka saja tidak mau menerima, akhirnya masuk ke pohon-pohon, saluran-saluran,” seloroh Arief yang disambut tawa peserta diskusi.
Arief berpendapat, orang menetapkan tersangka, terdakwa kasus korupsi misalnya, seharusnya disampaikan dengan cara bijaksana. “Tapi nyatanya, orang menetapkan tersangka malah dengan gagah berani. Kelihatan arogan sekali. Itu sesuatu yang tidak dilandasi oleh sinar Ketuhanan, kasih sayang,” imbuh Arief bijak.
Hal lain, Arief menyoroti proses legislasi tidak didasarkan pada yang benar, namun didasarkan pada kepentingan-kepentingan sesaat, ‘yang penting saya dapat berapa’. Begitulah Arief menggambarkan proses legislasi, pembuatan undang-undang di Indonesia yang sarat kepentingan. “Luar biasa kehidupan hukum di Indonesia. Keadilan berdasarkan Ketuhanan kok diperdagangkan?” tanya Arief.
Lebih lanjut Arief mengartikan hukum terdapat dua hal, yaitu membuat hukum dan menjalankan hukum atau mengimplementasikan hukum. “Pengertian implementasi hukum, termasuk menegakkan hukum,” tandas Arief. (Nano Tresna Arfana)