[JAKARTA] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi korban pertama dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperluas objek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP dengan mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Putusan ini menjadi salah satu pertimbangan hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati dalam mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan menggugurkan statusnya sebagai tersangka KPK.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, dengan adanya putusan MK ini, aparat penegak hukum seperti KPK, Polri maupun Kejaksaan Agung tidak dapat sewenang-wenang menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Dengan demikian, situasi penegakan hukum di Indonesia diharapkan akan semakin sehat karena tidak ada lagi kesewenang-wenangan dengan mengatasnamakan pemberantasan korupsi atau penegakan hukum.
"Tidak ada lagi pejabat yang sewenang-wenang, tambah sehat tambah bagus hukum negara ini supaya tidak sewenang-wenang baik KPK maupun Polri dan semua penegak hukum. Jangan atas nama pemberantasan korupsi asal main ciduk," kata Margarito saat dihubungi wartawan, Kamis (14/5).
Margarito mempertanyakan alibi KPK yang tak ingin menunjukkan alat bukti dalam menetapkan Ilham sebagai tersangka lantaran sudah masuk materi pokok perkara.
Menurut Margarito, dalam praperadilan atas penetapan tersangka, penegak hukum termasuk KPK hanya menunjukkan dua alat bukti yang merupakan prosedur penetapan tersangka. Dengan demikian, praperadilan tidak masuk dalam materi perkara karena tidak menguji alat bukti yang ditunjukkan.
"Kan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka itu harus didukung oleh dua alat bukti ya, tunjukin dong dua alat buktinya. Cukup itu dua keterangan alat bukti. Ada keterangan saksi, ini ada surat-suratnya, selesai. Tidak diperdebatkan soal materi disitu (sidang praperadilan). Tidak menguji keterangan saksi. Yang diperlukan adalah ada berita acara saksi, ada lima orang saksi yang sudah diperiksa, ada dokumen surat-surat, sudah terpenuhi," paparnya.
Menurut dia, praperadilan juga tidak diperkenankan untuk mengorek keterangan saksi. Misalnya, tambah Margarito, apakah saksi ada di tempat kejadian atau tidak, berada berapa meter, dan seterusnya, karena praperadilan hanya menunjukkan buktinya saja.
"Yang diperlukan (KPK) dalam praperadilan, itu hanya ini lho kami punya keterangan, ini lho kami punya keterangan saksi X tanggal sekian. Kami telah mengambil keterangan saksi W dari jam sekian, sampai tanggal sekian. Kami telah mengambil keterangan ahli dari XXXXX dari jam sekian, tanggal dan bulan sekian," jelasnya.
Dengan alibi masuk dalam pokok perkara, Margarito mencurigai KPK sebenarnya tidak memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkan Ilham sebagai tersangka. Margarito menegaskan, menunjukkan dua alat bukti tidak akan membuat tersangka menghilangkan atau mengaburkan barang bukti.
"Tidak (akan menghilang alat bukti), darimana itu. Tidak bisa. Jangan-jangan mereka penegak hukum memang tidak punya bukti sama sekali, makanya dicari dalih seperti itu. Hukum sudah mewajibkan kalau anda menetapkan seseorang menjadi tersangka harus menunjukkan dua alat bukti yang cukup, bukan dua barang bukti. Itu bukan satu keterangan saksi atau satu surat, tapi sejumlah keterangan saksi dan ada sejumlah dokumen," tegasnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menyatakan, hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati telah salah persepsi dalam mengambil keputusan mengabulkan permohonan praperadilan Ilham.
Salah satu pengacara Komisioner KPK nonaktif, Bambang Widjojanto ini mengatakan praperadilan hanya membahas prosedur bukan pokok perkara. Dengan demikian Fickar menyarankan KPK untuk mengajukan kasasi atas putusan praperadilan Ilham.
"Praperadilan itu prosedur, bukan pokok perkara, itu yang perlu diingat," katanya Jumat (15/5) pagi.
Meski begitu, Fickar mengatakan KPK harus tetap mengantisipasi segala keputusan praperadilan yang diajukan tersangka lain dengan menyiapkan dua alat bukti dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini, kata Fickar lantaran hakim memiliki independensi untuk memutus perkara dengan asumsi yang berbeda.
"Dua alat bukti itu harus tetap disiapkan KPK, walaupun sebenarnya itu sudah pokok perkara, dan ranahnya Pengadilan Tipikor," katanya.
KPK sendiri hingga kini belum menentukan langkah menanggapi putusan praperadilan Ilham. Pelaksana Tugas (Plt) Komisioner KPK, Johan Budi mengatakan pihaknya masih menunggu putusan lengkap dari pengadilan dan laporan dari Tim Biro Hukum KPK.
"Itu tergantung dari isi salinan putusan pengadilan yang telah diputuskan hakim itu," kata Johan.
Johan mengakui, saat ini pihaknya tengah mempertimbangkan sejumlah opsi dalam menanggapi putusan praperadilan Ilham. Selain kasasi, KPK juga mempertimbangkan untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun, setiap opsi tersebut belum diputuskan.
"Belum bisa ditentukan, karena masih menunggu salinan putusan lengkap pengadilan. Namun dalam rapat Rabu petang, ada beberapa opsi yang mengemuka," ucap Johan.
Diberitakan, Ilham ditetapkan sebagai tersangka sejak setahun lalu tepatnya pada 7 Mei 2014 atau pada hari terakhir menjabat sebagai Wali Kota Makassar.
Ilham diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam kerjasama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi PDAM Makassar tahun 2006-2012 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 38,1 miliar. Namun, sejak ditetapkan sebagai tersangka, Ilham belum pernah diperiksa oleh penyidik KPK.
Atas penetapan tersangka terhadap dirinya, Ilham mengajukan permohonan praperadilan kepada PN Jaksel. Hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati yang memimpin persidangan, mengabulkan gugatan praperadilan Ilham dengan menyebut penetapan tersangka yang dilakukan KPK tidak sah.
Dalam putusannya, Upiek menyatakan, KPK selaku termohon tidak dapat mengajukan bukti-bukti dalam persidangan yang menunjukkan kalau penetapan tersangka terhadap Ilham berdasar dua alat bukti yang cukup. Dengan putusan ini, surat perintah penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan Ilham tanggal 2 Mei 2014 tidak sah. [F-5/L-8]
Sumber: http://sp.beritasatu.com/nasional/ini-pelajaran-untuk-penegak-hukum/87053