Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan pemungutan suara dengan sistem noken masih dapat dibenarkan, namun pendapat Mahkamah tersebut hanyalah berlaku di tempat dan waktu tertentu yang selama ini belum pernah melaksanakan pemilihan umum dalam bentuk pencoblosan langsung oleh pemilih. Untuk itulah, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Calon Anggota Legislatif dari Provinsi Papua Isman Ismail Asso.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (11/3) di Ruang SIdang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menilai penggunaan sistem noken dalam Pemilu hanya bersifat kasuistis yang pada waktu itu masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat di Papua. “Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat bahwa sistem noken tidak perlu dinormakan secara khusus dalam Undang-Undang Pemilu,” ujar Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Kemudian Pemohon mendalilkan frasa “mencoblos” dalam Pasal 154 UU 8/2012 dinyatakan tidak bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 secara bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “pemberian suara dilakukan dengan menggunakan sistem noken” dengan syarat: a. tidak berlaku secara umum di Papua; b. bersifat lokal dan konkret; c. tidak melanggar prinsip Pemilu yang jujur dan adil”. Terhadap petitum tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak menjelaskan secara detail daerah mana saja yang menurut Pemohon dapat diberlakukan sistem “noken”. “Lagipula, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk menentukan daerah mana saja yang dapat menggunakan sistem “noken” dalam Pemilu,” tambah Alim.
Untuk menjamin adanya kepastian hukum, maka untuk tempat tertentu yang dalam pemilihan umum telah menggunakan sistem pencoblosan langsung oleh pemilih tidak dapat lagi kembali menggunakan sistem noken, ikat, atau sejenisnya. Menurut Mahkamah, jelas Alim, justru untuk tempat tertentu yang masih menggunakan sistem noken, ikat, atau sejenisnya diharapkan dapat beralih menggunakan metode coblos atau metode lain yang ditentukan dalam Undang-Undang. Oleh karenanya, perlu dilakukan sosialisasi oleh penyelenggara pemilihan umum secara intensif dan berkelanjutan. “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,”paparnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan cara pemberian suara hanya dengan cara mencoblos seperti tercantum dalam Pasal 154 UU Pileg bertentangan dengan 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal 154 UU Pileg menyebutkan “Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara”. Dalam praktik Pemilu di Indonesia, Pemohon menjelaskan, khususnya di beberapa Kabupaten di Wilayah Pegunungan Tengah Papua, pemberian suara pada Pemilu tidak dilakukan dengan pencoblosan/pencontrengan melainkan dengan sistem ikat suara atau aklamasi atau kesepakatan yang dikenal dengan nama sistem noken. Padahal, lanjut Pemohon, dalam sejumlah perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Papua, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah mengakui pemberian suara dengan sistem noken sebagai praktik yang didasarkan adat istiadat setempat yang dijamin oleh UUD 1945.
Hal ini menjadi masalah di masyarakat karena ketentuan formal dalam Pasal 154 UU Pileg dan Peraturan Teknis Komisi Pemilihan Umum secara tegas menyatakan pemberian suara pada pemilihan umum legislatif dilakukan dengan cara mencoblos sehingga KPU Provinsi Papua menolak untuk menerima pemberian suara dengan sistem noken pada Pemilu legislatif yang akan datang. Menurut Pemohon, Pembuat Undang-Undang dan Penyelenggara Pemilu tidak boleh melanggar pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 18B UUD 1945. Untuk itulah, Pemohon meminta kepada MK agar pemberlakuan frasa “mencoblos” pada Pasal 154 UU Pileg konstitusional bersyarat (conditionally constitusional). (Lulu Anjarsari)