JAKARTA, HUMAS MKRI - Setiap penyelenggara pos diberikan kewenangan untuk membuka dan/atau memeriksa kiriman. Tujuannya untuk memastikan tidak ada barang terlarang di dalamnya dan bukan untuk membaca isi dari surat yang dikirimkan oleh pengirim. Demikian bunyi pertimbangan hukum Mahkamah Putusan Nomor 78/PUU-XVII/2020 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo saat Sidang Pengucapan Putusan di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (25/11/2020).
Permohonan yang diajukan oleh PT Pos Indonesia (Pemohon I) dan Harry Setya Putra (Pemohon II) tersebut menguji konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 8, Pasal 15, Pasal 27 ayat (2), Pasal 30, Pasal 46, Pasal 51 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (UU Pos). Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah juga mempertimbangkan mengenai dalil Pemohon II yang menyatakan Pasal 1 angka 8 UU Pos telah melanggar hak atas kerahasiaan surat-menyurat karena mempersepsikan sama antara “surat” dengan jenis kiriman lainnya, yaitu paket, logistik, atau uang dalam satu kesatuan definisi “kiriman”. Mahkamah berpendapat bahwa pelaksanaan hak penyelenggara pos untuk membuka dan/atau memeriksa kiriman tersebut dilakukan di hadapan pengguna layanan pos. Dengan demikian, sambung Suhartoyo, proses tersebut telah mendapatkan perhatian dan pengawasan langsung dari kedua belah pihak. “Oleh karenanya, menurut Mahkamah pengaturan yang demikian telah jelas dan tidak melanggar hak konstitusi warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” ujar Suhartoyo.
Baca juga: PT Pos Indonesia Persoalkan Hilangnya Eksklusivitas Pelayanan Pos
Melindungi Hak Privasi
Suhartoyo mengatakan berdasarkan pengaturan yang ada, baik dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) tersebut, maka negara bertanggung jawab besar untuk melindungi hak atas privasi warga negara. Termasuk melindungi dari segala bentuk ancaman terhadap kehidupan pribadinya yang terdiri dari seperangkat hak warga negara yang berkenaan dengan perlindungan terhadap urusan pribadi, keluarga, nama baik, dan termasuk juga berkorespondensi atausurat-menyurat. Untuk melihat ada atau tidaknya pengaturan mengenai jaminan atas hak privasi warga negara ataskerahasiaan isi surat dalam norma a quo yang dipersoalkan oleh Pemohon II, Mahkamah memita agar Pemohon II dapat membaca ketentuan tersebut secara utuh dan komprehensif.
Mahkamah berpendapat adanya hak yang diberikan kepada pengguna layanan pos tersebut berkorelasi dengan Pasal 30 UU Pos yang menentukan penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman. Pengaturan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan kiriman tersebut juga diperkuat lagi dengan penerapan sanksi terhadap bentuk pelanggarannya, baik sanksi administratif untuk badan usaha penyelenggara pos maupun sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak tidak menjaga kerahasiaan kiriman. Artinya, frasa “setiap orang” dalam pasal a quo berlaku untuk siapa saja, baik pihak dalam badan usaha penyelenggaraan pos maupun pihak-pihak lain yang terkait pada keseluruhan kegiatan pengelolaan dan penatausahaan layanan pos.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, UU Pos tersebut telah memberikan perlindungan atas hak privasi warga negara, termasuk kerahasiaan isi surat secara proporsional sesuai dengan Konstitusi,” tegas Suhartoyo dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman yang juga diikuti oleh tujuh hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: MK Lanjutkan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Uji UU Pos
Tak Miliki Kedudukan Hukum
Sementara itu, terkait dengan dalil Pemohon I yang diwakili oleh Noer Fajrieansyah yang dalam permohonan a quo berkapasitas sebagai Direksi Hubungan Strategis dan Kelembagaan mewakili PT Pos Indonesia, telah ternyata tidak lagi menjabat sebagai salah satu direksi. Sebab, yang bersangkutan telah menjabat sebagai Direktur Kelembagaan PT Permodalan Nasional Madani (PT PNM). Oleh karena itu, terhadap Noer Fajrieansyah tidak lagi mempunyai hubungan hukum dengan PT Pos Indonesia, sekaligus tidak lagi melekat haknya sebagai subjek hukum yang dapat mewakili kepentingan hukum PT Pos Indonesia.
“Dengan demikian menurut Mahkamah Pemohon I dalam hal ini PT Pos Indonesia tidak dapat lagi kepentingan hukumnya diwakili oleh Noer Fajrieansyah, terlebih identitas dan kapasitas Pemohon harus melekat pada permohonan sejak permohonan didaftarkan hingga diputus oleh Mahkamah,” sebut Suhartoyo.
Baca juga: PT Pos Indonesia Sempurnakan Kedudukan Hukum dan Argumentasi Permohonan
Sebelumnya, Pemohon I mendalilkan sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keberadaannya penting untuk menunjang pembangunan nasional. Pemohon I melakukan pelayanan surat-menyurat, pengiriman barang, dan layanan pos lainnya untuk masyarakat secara luas. Pemohon mendalilkan adanya UU Pos terutama Pasal 1 angka 2 ini berakibat pada tidak terlaksananya tugas Pemohon I dengan sebagaimana mestinya. Menurut Pemohon I, ketentuan pasal tersebut mengartikan penyelenggaraan pos dapat dilaksanakan oleh siapa pun sepanjang telah memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai badan usaha yang menyelenggarakan pos. Akibatnya Pemohon I kehilangan hak eksklusifnya sebagai pos negara dan bahkan tidak berbeda dengan penyelenggara pos non-negara yang ada. Sementara itu, terhadap hak konstitusional Pemohon II yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia merasa dirugikan dengan keberlakukan Pasal 1 ayat (8), Pasal 27 ayat (2), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, dan Pasal 46 UU Pos karena adanya perlakuan yang sama antara surat dengan kiriman jenis lainnya. Menurut Pemohon II, surat merupakan salah satu media komunikasi yang di dalamnya tercakup perlindungan hak atas privasi sehingga surat memiliki kedudukan tersendiri dibandingkan dengan kiriman lainnya. Substansinya yang berisikan informasi privat antara pengirim dan penerima surat merupakan hak asasi manusia yang secara tegas dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Akibat dari hal ini, kiriman yang dipaketkan oleh Pemohon II dapat saja dibuka dan diperiksa oleh penyelenggara pos sebelum dilakukan pengiriman pada alamat yang dituju. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Annisa Lestari