JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (23/11/2020) siang. Dalam persidangan tersebut hadir tim kuasa Pemohon, Bernard Brando Yustisio, dkk.
Bernard mengatakan, pada bagian kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum Pemohon tidak mengalami perubahan berarti. Secara garis besar, kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum Pemohon hampir sama dengan permohonan sebelumnya. Namun, menurut Pemohon, pada alasan permohonan ada hal-hal yang dipertajam oleh Pemohon. Terutama mengenai kata “khusus” dalam Pasal 55 UU PPHI tidak didasarkan pada norma hubungan industrial Pancasila, tetapi landasan konstitusionalnya UUD 1945. Hal ini sebelumnya telah tertulis jelas dalam Pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan, “Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
“Pencantuman norma nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dalam Pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan merupakan karakteristik khusus penyelesaian hubungan industrial. Sebagaimana diketahui, lembaga penyelesaian hubungan industrial yang ada saat ini lahir dari norma hubungan industrial Pancasila,” kata Bernard kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Baca juga: Pengadilan Hubungan Industrial Dianggap Tidak Beri Ruang PK
Dengan demikian, norma dalam Pasal 55 UU PPHI, menurut Pemohon, seharusnya mengakomodir nilai-nilai Pancasila dan melindungi hak-hak konstitusional Pemohon sesuai dengan UUD 1945. Secara terang dan jelas UU PPHI telah menyatakan tidak ada proses banding ke tingkat pengadilan tinggi, sekaligus UU PPHI tidak pernah menyatakan melarang para pihak melakukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK).
Sebagaimana diketahui, permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 89/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Yok Sagita selaku direktur perusahaan swasta. Pemohon menguji Pasal 55 UU No. 2/2004 yang menyebutkan, “Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum”. Pemohon adalah Direktur PT Frina Lestari Nusantara yang memiliki masa kerja sekitar enam tahun terhitung mulai 19 Oktober 2010-4 Januari 2017 sebagai manager Logistik dan jabatan terakhir sebagai direktur yang melaksanakan tugas di bidang robotik produksi barang.
Pemohon menyatakan telah kehilangan hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 karena Pemohon tidak mendapat perlindungan dan kepastian hukum serta tidak memperoleh keadilan ketika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dan seketika kepada Pemohon tanpa melalui proses hukum sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan berlakunya Pasal 55 UU PPHI, Pemohon beranggapan pengadilan industrial dalam praktiknya ditafsirkan sebagai pengadilan khusus yang tidak memberikan ruang pada permohonan pengajuan upaya hukum luar biasa. Padahal di sisi lain, pengadilan khusus dapat dimaknai juga sebagai pengadilan ketenagakerjaan. Maka hak-hak konstitusional Pemohon telah terlanggar, tidak dapat mengajukan permohonan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang pekerja. Sehingga Pemohon sebagai pencari keadilan tidak memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak mendapat kemudahan dan tidak mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan tidak mendapat manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari