JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pada Senin (16/11/2020). Sidang perdana ini dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih sebagai ketua panel dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Daniel Yusmic P. Foekh selaku anggota.
Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 93/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Andi Amir Husry (DPP AKLINDO). Pemohon mengujikan Pasal 105 UU Jasa Konstruksi yang menyatakan, “Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Menurut Pemohon, Pasal 105 UU Jasa Konstruksi bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Arco Misen Ujung selaku salah satu kuasa hukum Pemohon menyebutkan, keberadan Pasal 105 UU Jasa Konstruksi telah menimbulkan polemik hukum atas kekuatan hukum yang berdampak pada akreditasi sejumlah asosiasi badan usaha dan asosiasi profesi jasa konstruksi. Dalam perjalanan proses aturan hukumnya, Arco menceritakan bahwa pelaksanaan UU Jasa Konstruksi diejawantahkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Menteri Pekerjan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2020 tentang Akreditasi Asosiasi Badan Usaha Jasa Konstruksi, Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi, dan Asosiasi Terkait Rantai Pasok Jasa Konstruksi Terakreditasi.
Namun, sambung Arco, penerbitan seluruh norma tersebut melebihi batas waktu yang diatur dalam Pasal 105 UU Jasa Konstruksi. Akibatnya justru keberadaan norma Pasal 105 UU Jasa Konstruksi potensial menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat bagi pelaku jasa konstruksi karena adanya praktik monopoli. Ditambah lagi, dengan adanya ketentuan norma ini pelaku jasa konstruksi menjadi terhalangi pula haknya untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif bersama dengan asosiasi lembaga.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 103 UU Jasa Konstruksi, lembaga yang dibentuk berdasarkan UU Jasa Konstruksi tetap menjalankan tugas sertifikasi dan registrasi badan usaha dan tenaga kerja konstruksi sampai dengan terbentuknya lembaga khusus untuk hal tersebut. Sehingga Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional melalui imbauannya menyatakan agar asosiasi segera menyiapkan sistem sertifikasi yang dapat teregistrasi dengan Sistem Informasi Konstruksi indonesia Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (SIKI LPJK). Namun proses ini justru diabaikan dalam penetapan aturan pemerintah yang ada.
“Sehingga, ketidakpastian hukum pada pasal a quo telah mengakibatkan peranan transisi yang dilakukan LPJK Nasional dalam rangka registrasi, akreditasi, dan sertifikasi menjadi tidka jelas,” sampai Arco.
Kedudukan Hukum
Mencermati permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel dalam nasihatnya meminta agar Pemohon mencermati apakah yang diujikan dalam perkara a quo ada pasal dari sebuah norma atau dari pasalnya. Menurut Daniel, jika berhubungan dengan pelaksanaannya maka hal ini merupakan domain Mahkamah Agung dan bukan domain MK. Berikutnya, Daniel juga menekankan mengenai legal standing yang harus diuraikan sesuai Peraturan MK oleh Pemohon.
“Sehingga terlihat kerugian konstitusionalnya,” jelas Daniel.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan tambahan bukti berupa anggaran dasar asosiasi yang di dalamnya menyebutkan pihak yang berhak menjadi wakil di dalam dan di luar pengadilan. Selain itu, Saldi juga menyoroti perlunya Pemohon membuatkan argumentasi yuridis yang dipertegas dengan menyatakan pasal dalam UU a quo bertentangan dengan pasal dari UUD 1945. Sehingga, hakim menjadi lebih paham terhadap kerugian konstitusional yang menjadi permasalahan bagi Pemohon.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim Enny Nurbaningsih menyampaikan kepada Pemohon agar menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 30 November 2020 pukul 13.30 WIB ke Kepaniteraan MK utuk kemudian diagendakan sidang selanjutnya.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.