JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) pada Senin (9/11/2020) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 89/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Yok Sagita selaku direktur perusahaan swasta. Pemohon menguji Pasal 55 UU PPHI yang menyebutkan, “Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum”. Pemohon adalah Direktur PT Frina Lestari Nusantara yang memiliki masa kerja sekitar enam tahun terhitung mulai 19 Oktober 2010-4 Januari 2017 sebagai manager Logistik dan jabatan terakhir sebagai direktur yang melaksanakan tugas di bidang robotik produksi barang.
Bernard Brando Yustisio selaku kuasa hukum Pemohon menegaskan bahwa kliennya telah kehilangan hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 karena Pemohon tidak mendapat perlindungan dan kepastian hukum serta tidak memperoleh keadilan ketika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dan seketika kepada Pemohon tanpa melalui proses hukum sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Selama bekerja, Pemohon telah menunjukkan dan memberikan kinerjanya dan performa kerja yang baik kepada perusahaan, memberikan andil dalam membangun dan mengembangkan PT Frina Lestari Nusantara, bahkan lebih maju lagi. Karena sebelumnya pabrik milik PT Frina Lestari Nusantara, yang berlokasi di daerah Sentul terbakar hebat dan menghanguskan sebagian besar pabrik. Kemudian perusahaan tersebut pindah ke kawasan Industri Deltamas, Kabupaten Bekasi dan mampu bangkit, berkembang dari sebelumnya.
“Akibat berlakunya Pasal 55 UU PPHI, bahwa pengadilan industrial dalam praktiknya ditafsirkan sebagai pengadilan khusus yang tidak memberikan ruang pada permohonan pengajuan upaya hukum luar biasa. Padahal di sisi lain, pengadilan khusus dapat dimaknai juga sebagai pengadilan ketenagakerjaan. Maka hak-hak konstitusional Pemohon telah terlanggar, tidak dapat mengajukan permohonan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang pekerja. Sehingga Pemohon sebagai pencari keadilan tidak memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. serta tidak mendapat kemudahan dan tidak mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan tidak mendapat manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945,” papar Bernard kepada Panel Hakim MK.
Sistematika Permohonan
Ketua Panel Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mencermati sistematika permohonan. “Menjelaskan legal standing itu terpisah, setelah itu alasan permohonan. Dalam alasan permohonan itu nanti Saudara menguji apakah benar norma yang dimohonkan ini bertentangan dengan dasar pengujian Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H Undang-Undang Dasar Tahun 1945?" papar Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberi masukan kepada Pemohon bahwa Peraturan Mahkamah Kontitusi No. 6/2005 sudah memberikan panduan mengenai format permohonan melakukan pengujian undang-undang di MK. “Dilihat beberapa contoh permohonan yang baik. Juga memperhatikan hal-hal yang kecil, misalnya identitas Pemohon ditulis sebelum nama kuasa itu, Pemohonnya siapa, setelah itu kuasanya. Kemudian, menggunakan istilah-istilah yang sudah akrab. Selain itu Pemohon harus menjelaskan objek pengujian Pasal 55 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004,” ucap Wahiduddin.
Lain pula Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang menyarankan Pemohon agar lebih detail menguraikan alasan-alasan kerugian konstitusional Pemohon. “Jadi, pasal yang dijadikan batu uji harus diuraikan masing-masing supaya bisa nanti meyakinkan hakim. Karena ini sidang pendahuluan, nanti ada perbaikan. Setelah itu panel biasanya akan melaporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim, kemudian nanti diputuskan apakah permohonan akan dilanjutkan atau tidak. Kemudian soal petitum, tidak mesti harus diuraikan pasal yang dijadikan batu uji. Cukup ditulis bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tandas Daniel.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Annisa Lestari