JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejak awal munculnya Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada Maret 2020, para petugas rumah sakit mempersiapkan sendiri alat pelindung diri (APD) dan segala macam urusan yang berkaitan dengan standar operasional prosedur (SOP) untuk menangani pasien Covid-19. Dalam perjalanannya, perhatian pemerintah khususnya di daerah masih sangat kurang. Pasien yang datang ke rumah sakit hanya dapat dilayani dengan fasilitas yang sangat minim, padahal menjadi rumah sakit rujukan bagi pasien Covid-19.
Demikian kesaksian yang dikemukakan Chilafat Dalimunthe selaku Saksi yang dihadirkan oleh para Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020 yang terdiri atas Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia. Sidang keenam pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (UU Penanganan Covid-19) ini digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa, (27/10/2020).
Baca Juga: Sejumlah LSM dan Peneliti Menguji UU Covid-19
Chilafat Dalimunthe berprofesi sebagai Dokter Spesialis Anestesi dari RSUD Muara Teweh, Barito Utara, Kalimantan Tengah. Dalam kesaksiannya ia menjelaskan bahwa rumah sakit tempat dirinya bekerja di wilayah Kalimantan Tengah adalah rumah sakit rujukan yang menggunakan alat bantu seadanya.
“Seharusnya ada alat-alat berupa ventilator khusus untuk membantu pernapasan penderita Covid-19. Pun ada ventilator, tidak secanggih alat yang dibutuhkan pasien. Kebanyakan dari ventilator yang tersedia saat ini pun telah banyak yang rusak,” cerita Chilafat secara virtual kepada Majelis Sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Baca Juga: Pemohon Uji UU Covid-19 Pertegas Argumentasi Permohonan
Di samping itu, sambung Chilafat, program diagnostik seperti rapid test dan swab pada masa awal terjadinya pendemi, sangat sulit didapat dan dilakukan. Dirinya selaku dokter pun harus membiayai sendiri keperluan ini. Selain itu, minimnya obat-obat yang datang juga menjadi permasalahan tersendiri yang harus ditanggung pihak medis yang harus tetap siap sedia melayani pasien yang datang ke rumah sakit.
“Kami pun mendengar bahwa dokter yang bertugas di daerah akan mendapatkan bantuan insentif dari pemerintah, terutama yang terlibat langsung dengan penanganan pasien Covid-19. Tetapi Alhamdulillah, sampai saat ini belum ada yang kami terima. Namun hal itu tidak mengurangi semangat kami untuk kerja menangani pasien Covid-19,” kisah Chilafat yang dipercaya sebagai bagian dari Tim Medis Penanggulangan Covid-19 di Kalimantan Tengah.
Baca Juga: Guratan Tanda Tangan Mencurigakan dalam Uji UU Covid-19
Chilafat pun menyebutkan, meski wilayah Barito Utara, Kalimantan Tengah masuk dalam zona merah hitam, pihaknya mengakui cukup kesulitan untuk melakukan pendataan dengan benar terhadap pasien Covid-19. Hal ini terjadi karena masyarakat sejatinya takut untuk diperiksa dan didiagnosa positif Covid-19. Oleh karena itu, pendataan yang tepat pun menjadi permasalahan tersendiri dalam penanggulangan Covid-19 di Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Sidang yang dilaksanakan secara virtual ini digelar untuk tujuh perkara yakni Nomor 37/PUU-XVIII/2020, Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020. Dalam tujuh perkara permohonan tersebut para Pemohon mendalilkan UU Penanganan Covid-19 cacat secara formil dan materiil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga: Dana Desa Ditunda, Dua Kepala Desa Gugat UU Covid-19
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Alasan para Pemohon melakukan pengujian formil UU Penanganan Covid-19 pada prinsipnya meliputi dua argumentasi. Pertama, tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan untuk menentukan apakah Perpu tersebut disetujui atau tidak. Kedua, rapat virtual yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpotensi tidak dihadiri secara konkret oleh anggota DPR.
Sedangkan Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Iwan Sumule dan 49 Pemohon lainnya selaku aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) mendalilkan, apabila UU Penanganan Covid-19 berikut lampirannya diberlakukan untuk seterusnya, maka ke depan tidak akan lagi ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang selalu dibahas secara bersama-sama antara Pemerintah dengan DPR, karena Presiden dapat merubah postur dan/atau rincian APBN dan menetapkan perubahan tersebut secara sepihak hanya berdasarkan Peraturan Presiden. Sedangkan amanat Konstitusi dalam Pasal 23C UUD 1945 menyatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, bukan dengan Peraturan Presiden.
Baca Juga: Sri Mulyani: UU Penanganan Covid Justru untuk Melindungi Masyarakat
Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020, Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia mendalilkan bahwa Perpu No. 1/2020 yang telah diundangkan melalui UU No. 2/2020 mengandung ketidakjelasan tujuan terkait dengan syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dan lebih diarahkan kepada kepentingan Pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Tahun Anggaran 2023.
Kemudian Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 atas nama Sururudin mendalilkan, Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU Penanganan Covid-19 dapat ditafsirkan memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada Presiden/Pemerintah untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak 2020-2023. Hal ini justru bertentangan dengan ruang lingkup yang diatur dalam Bab I Pasal 1 undang-undang a quo. Ruang lingkup undang-undang ini sudah jelas mengatur mengenai kebutuhan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan APBN Tahun 2020. Namun justru dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk dapat leluasa tanpa melibatkan DPR mengatur keuangan negara sampai pada 2023.
Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Triono dan 26 Pemohon lainnya yang menjabat sebagai kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa, mendalilkan bahwa mereka sangat memahami kondisi wabah Covid-19 sehingga pengalihan sampai penundaan dana desa pun tidak masalah. Namun, hal tersebut menjadi masalah ketika muncul ketentuan dana desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (8) Lampiran UU Penanganan Covid-19. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i UU Penanganan Covid-19, tidak ada keterangan bahwa pada kondisi pandemi Covid-19, pemerintah pusat akan meniadakan dana desa. Yang diatur hanyalah kewenangan pemerintah melakukan penyesuaian, pemotongan dan penundaan, bukan meniadakan.
Baca Juga: Abdul Chair Ramadhan: UU Penanganan Covid-19 Menyalahi Sistem Hukum Pidana
Sedangkan Pemohon perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 yaitu Damai Hari Lubis selaku advokat. Damai mempermasalahkan penggunaan anggaran dalam Perpu a quo adalah melalui APBN sehingga harus mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 khususnya mengenai prinsip terbuka dan bertanggung jawab dalam penggunaan APBN untuk kesejahteraan rakyat, yang tidak boleh dimaknai dalam kondisi pengecualian tetapi harus dimaknai dalam kondisi apapun. Damai berpandangan, diberlakukannya ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19 telah menutup pertanggungjawaban pejabat publik dalam penggunaan uang negara yang mengakibatkan terjadinya kemunduran hukum, karena sebelumnya telah diberlakukan aturan-aturan dengan prinsip terbuka dan bertanggung jawab.
Sementara Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 47 Pemohon, di antaranya M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, HM. Amien Rais. Para Pemohon antara lain mendalilkan pengajuan dan persetujuan DPR terhadap Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam masa sidang DPR yang sama, tepatnya pada masa sidang ke-III. Menurut para Pemohon, proses penerimaan dan persetujuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Seharusnya, apabila DPR menerima Perppu 1/2020 pada masa sidang III, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perppu 1/2020 dilakukan pada masa sidang IV, sehingga para Pemohon beranggapan UU 2/2020 beralasan hukum untuk dibatalkan secara keseluruhan. Selain itu, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, seharusnya DPD ikut membahas Perppu 1/2020, dikarenakan isinya terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya DPR membahas tanpa DPD.
Sebelum menutup sidang, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang selanjutnya akan digelar pada Kamis, 12 November 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dari Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 atas nama Sururudin dan Pemohon perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 yaitu Damai Hari Lubis.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.