JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi pembicara kunci silaturahmi Pemuda Kabupaten Tegal yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dengan tema “Mekanisme Judicial Review dengan Semangat Pancasila dalam Mewujudkan Hukum Konstitusi yang Bersupremasi”, pada Sabtu (24/10/2020) siang secara virtual.
Pada acara tersebut, Arief membuka materi dengan mengatakan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan kondisi sebelumnya. Menurut Arief, saat ini kondisi yang dialami adalah kondisi dalam situasi mengalami kemajuan teknologi yang mana segala sesuatu dapat terekspos secara cepat sehingga menimbulkan ketimpangsiuran berita.
“Sementara kita gagap teknologi. Kita dapat satu berita yang belum kita cek kebenarannya. Inilah yang membuat gaduh di negeri ini baik di kehidupan politik, hukum, ekonomi maupun di kehidupan sosial lainnya termasuk di bidang-bidang teknologi yang lain,” ujar Arief. Sehingga, ia berpesan kepada generasi muda agar berhati-hati dalam melakukan segala sesuatunya.
Selain itu, Arief juga menjelaskan bahwa apabila hukum dan demokrasi tidak berbasis dan belandaskan pancasila dan UUD 1945 maka akan terbentuk hukum demokrasi yang tidak berbentuk kosmologi Indonesia bahkan akan terbentuk demokrasi trans nasional baik ideologi kiri maupun kanan. Sebagai contoh, lanjut Arief, kegaduhan di Indonesia sebenarnya ada indikasi yang harus dicermati tidak hanya dari faktor internal saja tetapi juga faktor eksternal. “Bagaimana intervensi ideologi-ideologi transnasional Indonesia luar biasa. Padahal ideologi-ideologi seperti itu menganggu kehidupan nasional Indonesia ditambah lagi faktor-faktor eksternal,” jelasnya.
Lebih lanjut Arief mengatakan, Undang-Undang Dasar 1945 hanya terdiri dari dua, yakni pembukaan dan pasal-pasal. Pada pembukaan, terdapat hal-hal fundamental yang mana alinea keempat menyampaikan secara eksplisit tujuan nasional. Sebagai hakim konstitusi, Arief mengaku mewujudkan visi misi nasional bedasarkan Pancasila. Namun, dalam menjalankan tugas masing-masing tidak boleh saling intervensi, tidak boleh saling memengaruhi.
Arief melanjutkan Indonesia menganut sistem nomokrasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu juga terjadi kepada Sembilan hakim konstitusi dalam memutus suatu perkara berdasarkan prinsip ketuhanan. Sehingga seluruh hakim bertanggung jawab dengan apa yang telah diputus. Arief mengatakan, hakim konstitusi tidak hanya bertanggung jawab kepada negara tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Arief, berhukum itu harus disinari oleh Ketuhanan YME. Berhukum hanya ada dua yakni membuat hukum dan mengimplementasikan hukum. Pendidikan hukum di Indonesia kurang menyadari prinsip ketuhanan. Sehingga hukum dijadikan komoditi dan dipermainkan. Padahal hukum itu bertanggung jawab kepada Tuhan YME. Sehingga, Arief mengajak seluruh lapisan untuk membangun sistem hukum berlandaskan Pancasila. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari