JAKARTA, HUMAS MKRI - Adanya kekosongan aturan hukum yang khusus mengenai pengelolaan asuransi berbentuk usaha bersama seperti Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB 1912), berakibat pada kurangnya akses permodalan bagi perusahaan dari para investor asing yang tertarik memberikan tambahan permodalan. Demikian keterangan yang disampaikan Kornelius Simanjuntak sebagai Ahli Bidang Perasuransian dari Universitas Indonesia yang dihadirkan Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 selaku Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian).
Agenda persidangan yang digelar di MK pada Selasa (20/10/20) ini adalah mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon dan Saksi Presiden/Pemerintah. Dalam permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 32/PUU-XVIII/2020 ini, Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kornelius lebih lanjut menjelaskan perlunya payung hukum yang kuat khususnya mengenai aturan pengelolaan asuransi usaha bersama. Kendati telah ada aturan hukumnya berupa PP Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, tetapi hal demikian kurang kuat untuk dijadikan landasan hukum terutama bagi penambahan permodalan oleh investor asing. Menurutnya, sifat dari PP yang dapat dilakukan perubahan ini menjadi kurang meyakinkan bagi investor asing untuk menambahkan permodalan bagi perusahaan asuransi usaha bersama di Indonesia.
“Ketentuan dari pelaksanaan dan pengelolaan perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama ada di bawah undang-undang. Hal ini kurang memberikan kepastian hukum jika dibandingkan dengan dasar hukum bagi perusahaan asuransi yang berbentuk Perseroan Terbatas dan bahkan Koperasi,” jelas Kornelius yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Asuransi Indonesia.
Adanya perintah untuk membuat sebuah undang-undang khusus ini juga telah ditegaskan oleh Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 agar dibentuk undang-undang tersendiri mengenai perasuransian usaha bersama. Dari hal ini, Kornelius melihat telah ada dukungan bagi pembuat undang-undang untuk segera melaksanakan pembentukan aturan hukum yang dimaksud. Dalam pandangan Kornelius, adanya ketentuan dari Pasal 6 ayat (3) UU Perasuransian ini tidak dapat diartikan sebagai larangan bagi DPR dan Pemerintah untuk membuat undang-undang secara khusus, sebagaimana yang telah dilakukan negara lain untuk mendorong berkembang dan majunya perusahaan asuransi yang berbentuk usaha bersama.
Kurang Perhatian
Diakui oleh Kornelius bahwa Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian telah memerintahkan untuk pembuatan usaha asuransi secara bersama. Akan tetapi perintah tersebut tak kunjung dilaksanakan oleh pembuat undang-undang hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ini. Dari peristiwa ini, Kornelius mencermati bahwa Pemerintah melihat pembuatan norma ini bukanlah prioritas sehingga dalam jangka waktu yang cukup panjang tersebut tidak ada pengajuan rancangan undang-undang yang dimaksud untuk dibahas.. Di samping itu, pengurus dari perusahaan asuransi usaha bersama ini pun dinilai Kornelius kurang memperhatikan peran penting pembuatan undang-undang khusus ini. Padahal, pihak pengurus perusahaan dapat saja mengajukan draft RUU kepada DPR dengan mengajukan draft akademik melalui bantuan ahli hukum sehingga dibuatkan undang-undang yang diinginkan tersebut.
“Namun, hal ini tidak dilakukan pengurus AJB 1912 karena selama 22 tahun sejak 1992 hingga 2014 ini, menjadi waktu yang lama dalam menjawab perkembangan industri perasuransian. Akibatnya, syarat permodalan menjadi kendala karena tidak ada akses permodalan yang kuat dan memadai sehingga sulit bagi perusahaan untuk bersaing. Lalu hal ini berdampak buruk pula pada keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang,” jelas Kornelius secara virtual kepada Majelis Sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman di Ruang Sidang Pleno MK.
Merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, Kornelius mengatakan Pemerintah dan DPR belum melaksanakan amanat yang dimaksudkan. Artinya, keberadaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang dikatakan merupakan jawaban dari perkembangan perasuransian, tetapi tidak memberikan penjelasan mengenai ketentuan terhadap perusahaan asuransi usaha bersama.
“Apakah yang dimaksudkan itu adalah undang-undang khusus. Atau undang-undang perasuransian secara umum, yang di dalamnya ada pengaturan mengenai status badan hukum usaha bersama ini,” terang Kornelius.
Peningkatan Pengaturan dan Pengawasan
Sementara itu, Saksi dari Presiden/Pemerintah yakni Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI Isa Rachmatarwata menceritakan latar belakang adanya pengubahan undang-undang adalah untuk perbaikan pengaturan dan pengawasan usaha perasuransian. Pada saat dirancangnya UU a quo, Isa yang saat itu terlibat dalam penyusunannya mengatakan bahwa pengelolaan penyelenggaraan asuransi yang ada di Indonesia harus ditingkatkan agar setara dengan perusahaan asuransi yang ada di negara lain di dunia. Apalagi, sambung Isa, saat itu Indonesia telah memasuki masa ekonomi terbuka dengan memberikan peluang bagi investor asing untuk turut menanamkan modalnya di berbagai sektor permodalan di Indonesia.
“Adanya penyetaraan ini diharapkan penyelenggaraan kualitas asuransi untuk menyeleksi investor yang bisa diterima diatur menjadi lebih terbuka. Untuk itu, penting pula ditingkatkan pengaturan dan pengawasannya dengan sebaik-baiknya,” kata Isa melalui sambungan persidangan jarak jauh.
Diungkapkan Isa bahwa pada bidang penyelenggaraan usaha khususnya permodalan, Indonesia tidak tidak bisa menutup diri dari masuknya investor asing. Karena pihak-pihak tersebutlah, yang mendatangkan modal lebih kuat. Untuk kesetaraan perlindungan bagi konsumen di Indonesia dan investor, maka dilakukan perbaikan dalam manajemen risiko dan struktur kelembagaan asuransi usaha bersama. Dalam perkembangannya, untuk menindaklanjuti hal ini maka regulator memperkenalkan tingkat kesehatan perasuransian terutama dalam permodalan dari kekayaan dan kewajiban pada asuransi usaha bersama, yang juga telah diterapkan dan berlaku di seluruh perusahaan asuransi usaha bersama dunia. Atas pemberlakuan sistem pengukuran pada risiko ketidaksesuaian kekayaan dan kewajiban ini, telah diberikan waktu beberapa tahun bagi perusahaan asuransi usaha bersama untuk melakukan penyesuaian.
Dikatakan Isa bahwa ketentuan mengenai asuransi berbentuk usaha bersama memang belum ada undang-undang khususnya, sehingga berdampak pada terbatasnya akses pada permodalan bagi perusahaan jenis ini dibandingkan dengan perusahaan asuransi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Terkait permodalan pada perusahaan usaha bersama ini diatur dalam Anggaran Dasarnya yang menyatakan dua upaya yang dapat dilakuakn untuk melakukan peningkatan permodalan. Pertama, dari para anggota dengan menyetorkan sejumlah uang baru yang tidak dihubungkan dengan premi asuransi. Kedua, setiap anggota bersedia mengurangi keuntungan dari polis yang telah ditetapkan. Atas dasar ini, pihak AJB 1912 mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian diri khususnya terkait dengan kesehatan perusahaan perasuransian meski telah diberi waktu transisi.
“Permasalahan yang terjadi ini akhirnya oleh Pemerintah dan DPR diputuskan pengaturan Badan Hukum Usaha Bersama tidak lagi diatur dalam undang-undang tersendiri, tetapi dalam peraturan pemerintah,” cerita Isa.
Baca Juga…
BPA AJB Bumiputera Uji Pengaturan Perusahaan
BPA AJB Bumiputera Pertegas Kedudukan Hukum
Pemerintah: Pengaturan Usaha Persuransian adalah Pilihan Open Legal Policy
Margarito: Pengaturan Usaha Perasuransian Bercorak Kapitalis
Sebagai informasi, permohonan uji materi UU Perasuransian ini diajukan oleh Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang terdiri dari Nurhasanah, Ibnu Hajar, Maryono, Achmad Jazidie, Habel Melkias Suwae, Gede Sri Darma, Septina Primawati, dan Khoerul Huda. Menurut Pemohon, keberadaan Pasal 6 ayat (3) UU Perasuransian telah menimbulkan kerugian konstitusional karena tidak sesuai dengan substansi Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013. Dalam putusan MK tertanggal 03 April 2014 tersebut MK memerintahkan bahwa ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual Insurance) harus diatur lebih lanjut dengan UU tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan diucapkan. Namun, menurut Pemohon, Pemerintah dan DPR telah melakukan kemunduran dengan mengubah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Selain itu, Pemohon menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan putusan MK yang mewajibkan dan memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk membentuk UU tersendiri tentang Asuransi Usaha Bersama. Menurut para Pemohon, keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dan bertolak belakang dengan Anggaran Dasar AJB yang telah ada dan memberikan jaminan eksistensi dan kewenangan bagi para Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari.