JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto secara resmi menutup kegiatan Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Serentak Tahun 2020 bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi, Kabupaten/Kota pada Kamis (15/10/2020) sore secara virtual.
“Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Plt. Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi beserta segenap jajarannya yang telah menyelenggarakan bimtek ini dengan baik. Juga kepada para Komisioner Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota yang telah meluangkan waktunya untuk mengikuti bimtek yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Aswanto.
Aswanto mengatakan, bimtek pada kesempatan ini merupakan reuni baginya karena sebelum menjadi hakim konstitusi, Aswanto pernah menjadi penyelenggara pemilu. Aswanto memiliki pengalaman empiris sebagai ketua Panwaslu Provinsi Sulawesi Selatan. Tak hanya itu, Aswanto juga banyak terlibat sebagai tim seleksi dalam rekrutmen panitia pengawas di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Ketika itu pengawas pemilu belum permanen dan namanya belum Bawaslu tapi Panwaslu. Sehingga paling tidak, saya bisa memahami apa yang menjadi tugas dan kewenangan dari teman-teman Bawaslu di lapangan. Bahkan pasca saya selesai melaksanakan tugas sebagai Panwaslu Provinsi Sulawesi Selatan ketika itu, rekrutmen-rekrutmen panitia pengawas di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota sering melibatkan saya sebagai tim seleksi. Saya selalu ingatkan kepada teman-teman yang ingin mengikuti seleksi, bahwa pekerjaan pengawas pemilu pekerjaan yang tidak gampang. Menjadi pengawas pemilu baik pusat, kabupaten/kota harus punya mental yang kuat. Karena pihak yang merasa tidak puas dengan hasil pilkada, cenderung akan melakukan protes bahkan melakukan tindakan-tindakan fisik,” tutur Aswanto.
Oleh sebab itu, kata Aswanto, tidak mudah menjadi komisioner Bawaslu di tingkat provinsi, kabupaten/kota. “Itulah sebabnya saya memberikan apresiasi kepada Bapak Ibu yang berkenan menjadi komisioner Bawaslu baik di provinsi maupun kabupaten/kota,” ucap Aswanto.
Selanjutnya Aswanto tak ingin berpanjang lebar menyampaikan sambutan penutup bimtek, karena materi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 5 dan No. 4 Tahun 2020 sudah disampaikan secara keseluruhan oleh pemberi materi dari MK, baik dari para narasumber, fasilitator, bahkan sudah didiskusikan secara mendalam antara narasumber, fasilitator dengan para peserta bimtek.
Aswanto menjawab pertanyaan ikhwal kewenangan MK dalam menangani perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). ”Sebenarnya dalam UU No. 10/2016 sudah ditegaskan bahwa yang punya kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan gubernur, bupati, walikota adalah peradilan khusus,” jelas Aswanto.
Lantas kenapa tetap mengadili sengketa hasil pilkada? Aswanto menuturkan, yang memiliki kewenangan menangani sengketa hasil pilkada pertama kali adalah Mahkamah Agung (MA). Kemudian MA mengalihkan kewenangannya ke pengadilan tinggi untuk menangani sengketa pilkada di tingkat kabupaten/kota. Sementara untuk sengketa pilkada di tingkat provinsi tetap ditangani MA.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, melalui diskusi-diskusi panjang, kewenangan menangani sengketa hasil pilkada dialihkan ke MK. Apalagi ditambah sejumlah kejadian pembakaran pengadilan tinggi dari pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan putusan sengketa hasil pilkada.
Dijelaskan Aswanto, MK setuju bahwa yang punya kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa hasil pilkada adalah peradilan khusus, berdasarkan klausul dalam Putusan MK beberapa tahun lalu. “Kenapa ada klausul dalam Putusan MK? Karena ketika kami memutus perkara, MK sedang memeriksa empat perkara sengketa pilkada. Sebagaimana kita ketahui, Putusan MK adalah putusan yang serta-merta, begitu selesai diucapkan, maka putusan itu mengikat. Kalau ketika itu tidak dicantumkan klausul ‘sepanjang belum ada peradilan khusus’ maka kita tidak bisa membayangkan bagaimana nasib empat perkara sengketa pilkada yang sedang ditangani MK ketika itu,” ungkap Aswanto.
Putusan MK tersebut kemudian diapresiasi oleh pemerintah. Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah menegaskan bahwa yang mempunyai kewenangan menangani sengketa hasil pilkada adalah peradilan khusus sebagaimana yang pernah diputus oleh MK.
“Soal sengketa hasil pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD 1945 ditegaskan bahwa pemilu yang dimaksud adalah pemilu sebagaimana Pasal 22E UUD 1945 yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden,” ujar Aswanto.
Lebih lanjut Aswanto menanggapi Pasal 158 UU No. 10/2016. Pasal tersebut menegaskan bahwa para pihak yang dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada ke MK adalah mereka yang mempunyai persentase selisih suara tidak melebihi apa yang ditentukan dalam Pasal 158 UU tersebut. Saat ini, kata Aswanto, dalam PMK No. 5 Tahun 2020 ada pergeseran terkait persentase selisih suara yang ditetapkan MK untuk mengajukan permohonan sengketa hasil.
“Apa yang ditentukan dalam Pasal 158 UU No. 10/2016 sudah merupakan hasil, karena hakikat kewenangan MK adalah sengketa hasil. Oleh karena itu Mahkamah menegaskan akan tetap memeriksa permohonan, sekalipun permohonan tidak memenuhi persyaratan persensante selisih suara yang ditentukan dalam Pasal 158 tersebut. MK itu bukan Mahkamah Kalkulator. MK mau memberikan keadilan yang substantif. Oleh karena itu, kami akan periksa semua yang berkaitan dengan perolehan suara,” tegas Aswanto.
Sebelumnya, beberapa sesi materi diberikan dalam bimtek ini. Ada materi “Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020”. Kemudian materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI” dan materi “Mekanisme dan Tahapan, Kegiatan, Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020” maupun materi “Teknik dan Diskusi Penyusunan Keterangan Bawaslu Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020”. Selain itu materi “Praktik Penyusunan Keterangan Bawaslu Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020” dan materi “Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik”.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.