JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pada Rabu (13/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam Persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Ansari Ritonga, Ahli Perpajakan yang dihadirkan Pemerintah mengatakan bahwa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan yang dinyatakan pailit, sesuai ketentuan, baru dapat dihapuskan apabila sudah tidak ada lagi kewajiban perpajakannya. Apabila masih terdapat pajak terutang yang belum dibayar maka NPWP tersebut tidak dapat dihapus karena NPWP masih diperlukan sebagai sarana untuk membayar pajak yang masih terutang.
Kemudian, lanjut Ansari, dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tetang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) dijelaskan, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-undang ini”. Sementara pada Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dijelaskan, “Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, tugas kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan pemberesan aset debitur yang dinyatakan pailit untuk digunakan pembayar utang debitur atau piutang kreditur. Oleh karena itu, selain tugas kurator sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) tersebut, tidak ada tugas direksi atau pengurus perusahaan yang dialihkan kepada kurator.
Lebih lanjut Ansari menjelaskan bahwa tanggung jawab atau pengelolaan perusahaan yang salah, yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang terjadi sebelum dipailitkan, tetap menjadi tanggung jawab pengurus yang bersangkutan apabila dari hasil pemeriksaan kurator terdapat aset debitur belum cukup melunasi piutang atau tagihan daripada kreditur.
Menurutnya, kaitan hak dan kewajiban suatu badan dengan pemberesan aset dari badan yang pailit oleh kurator hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang badan sebagai debitur terhadap piutang yang diajukan oleh kreditur sesuai yang ditentukan oleh kurator dan hakim pengawas. Dengan dinyatakannya suatu badan pailit, tidak berarti utang badan tersebut akan diselesaikan seluruhnya. Setelah selesai pemberesan boedel aset pailit, apabila masih ada piutang pajak yang belum dilunasi, masih terbuka hak kreditur untuk menagihnya lagi seperti dikemukakan Pasal 204. “Atas pajak terutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar dapat ditagih dengan penagihan paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan, setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila terbukti melakukan kesalahan. Pertanggungjawaban pribadi tersebut dikecualikan sepanjang anggota direksi tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian mengurus perseroan sesuai ketentuan hukum dengan iktikad baik dengan hati-hati tidak memenuhi benturan kepentingan dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya kerugian.
Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo yang diajukan oleh Pemohon. Apabila dapat membuktikan dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin ada untuk dibebani, maka tanggung jawab tersebut bisa tidak menjadi tanggung jawab dari pengurus yang dimaksud. Sekalipun melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah membebaskan direksi atau komisaris dari pertanggungjawaban yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (3). Hal ini terkait dengan tanggung jawab pengelolaan perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik atau good corporate governance.
Sementara Teddy Anggoro yang merupakan akademisi dan praktisi yang memiliki spesialisasi di bidang hukum perusahaan dan hukum kepailitan mengatakan bahwa tanggung jawab direksi atas perusahaan yang diurus adalah suatu hukum yang berlaku di dunia ini yang tidak bisa dinegasikan, yang mana hal tersebut merupakan hasil-hasil perkembangan keilmuan dan praktik korporasi.
Sehubungan dengan petitum Pemohon yang minta dikecualikan dari pertanggungjawaban pengurus dalam hal kepailitan, lanjut Teddy, tidaklah dibenarkan secara hukum dan argumentasi yang membawa bahwa doktrin business judgment rule adalah tidak tepat. Karena doktrin tersebut justru menghendaki pengurus yang diperiksa dan membuktikan iktikad baik dan ketaatannya terhadap peraturan yang mengikatnya, tentu dalam kasus ini in casu adalah peraturan perpajakan. Sehingga tegas, business judgment rule merupakan imunitas dalam Bahasa Indonesia yang dipadankan dengan kebal. Kondisi kebal ini harus dibuktikan dengan serangan atau ujian. Selain itu, hukum kepailitan mengatur setelah keadaan pailit pengurus dan pemberesan boedel pailit beralih kepada kurator. Tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab direksi untuk pemenuhan kewajiban perpajakan perseroan terbatas yang diwakilinya tersebut.
“Jika harta pailit cukup untuk membayar semua utang, maka tidak akan ada masalah. Tetapi ketika harta pailit tidak cukup, maka secara logis negara memiliki mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban memenuhi kewajiban perpajakan berupa utang pajak yang masih belum dilunasi tersebut kepada direksi atau pengurus yang bersangkutan,” jelas Teddy.
Tanggung jawab direksi tidak berpindah kepada kurator selain pengurusan dan pemberesan boedel pailit. Ia mengatakan, seluruh kepailitan yang berakhir di Indonesia tidak pernah berakhir dengan likuidasi karena kepailitan dan likuidasi di Indonesia adalah dua perbuatan hukum yang berbeda. Jika boedel pailit tidak mencukupi untuk membayar penuh seluruh utang, maka setelah kepailitan berakhir, sisa utang yang belum dibayarkan kepada kreditur tersebut dapat ditagihkan kreditur kepada pengurus PT jika belum dilikuidasi atau jika setelah dilikuidasi, maka kreditur dapat menuntut kepada person dalam perseroan yang sudah dilikuidasi itu. Apabila ada dasar dan alasan untuk menuntut itu, dalam hal ini, tidak dibayarkan utang kreditur pada masa sebelum jatuh putusan pernyataan pailit adalah karena kesalahan pengurus perusahaan.
Baca Juga…
Terbebani Tagihan Pajak Perseroan Pailit, UU KUP Diuji
Pemohon Uji UU KUP Pertajam Identitas
DPR: Mantan Pengurus Harus Tanggung Jawab atas Utang Pajak Perseroan
MK Tunda Sidang Keterangan Ahli dan Saksi Pemohon Uji UU KUP
Ahli Pemohon: Harta Perusahaan Pailit Diurus Kurator
Untuk diketahui, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 41/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Taufik Surya Dharma. Pemohon menguji Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Pemohon merupakan mantan Pengurus PT. United Coal Indonesia (PT UCI) yang sudah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun 2015 silam. Pemohon keberatan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Pasal 2 ayat (6) UU KUP menyatakan, “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila: 1. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; 2. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha; 3. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau 4. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Pasal 32 ayat (2) UU KUP menyatakan, “Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terhutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benarbenar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut”.
Menurut pemohon, kedua pasal tersebut telah dijadikan dasar oleh KPP Wajib Pajak Besar Satu untuk melakukan penagihan pajak PT. UCI yang dibebankan kepada Pemohon secara pribadi dengan jumlah yang sangat fantastis sebesar Rp. 193.625.721.483,00 hanya karena NPWP Badan atas nama PT. UCI (dalam pailit) belum dihapus. Padahal, perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan seluruh boedel harta pailit dilakukan pemberesan oleh Kurator.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari.
Foto: Gani.