JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menunda pelaksanaan sidang pleno terhadap tiga perkara permohonan pengujian Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Tiga perkara dimaksud yakni Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Sejatinya, agenda sidang pleno hari ini, Rabu (7/10/2020) adalah mendengarkan Keterangan DPR, DPD dan Presiden. Namun, dalam persidangan, Ketua MK Anwar Usman mengatakan DPR dan DPD berhalangan hadir dan telah mengirimkan surat pemberitahuan. Sementara Pemerintah meminta persidangan ditunda.
“Pada persidangan hari ini seharusnya mendengarkan keterangan DPR, DPD dan Presiden. DPR dan DPD berhalangan, dan dari kuasa Presiden mengajukan surat meminta penundaan sidang karena belum siap. Kalau begitu sidang ini ditunda hari rabu 21 Oktober 2020 pukul 10.30 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, DPD dan Presiden,” kata Anwar.
Baca Juga:
MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
Untuk diketahui permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut pemohon, substansi materi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah suatu amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU Minerba.
Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.
Baca Juga:
UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Pemohon Uji UU Minerba Perbaiki Permohonan
Sedangkan Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan undang-undang a quo yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD. Padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, sehingga pembahasan RUU Minerba secara konstitusional harus dibahas dengan melibatkan DPD.
Terakhir, permohonan perkara yang diregistrasi dengan Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Permohonan ini diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).
Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba, yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan bahwa Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan bahwa pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD. Hal tersebut tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 75 UU Minerba.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS, Raisa Ayudhita.