JAKARTA, HUMAS MKRI – Konten negatif yang dibawa oleh layanan konten berbasis internet atau Over The Top (OTT) dalam bentuk video on demand dapat berdampak merusak moral publik. Oleh karena itu, peran negara penting untuk mengatur layanan OTT. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra yang menjadi Ahli yang dihadirkan RCTI dan iNews dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Sidang kelima Perkara Nomor 39/PUU-XVIII/2020 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (1/10/2020) siang dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19 sehingga para pihak hadir secara virtual.
“Konten negatif yang ada dalam OTT dapat berdampak merusak ke publik dan bahkan mengancam kedaulatan negara. Dalam hal ini adalah elemen terpenting dari Indonesia dan negara kita adalah berbentuk republik, karena itu negara harus hadir melindungi warganya melindungi publiknya ketika publik yang membutuhkan pelindung,” papar Iswandi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: RCTI dan iNews Persoalkan Ketiadaan Aturan Siaran Melalui Internet
Iswandi melanjutkan OTT dalam bentuk VOD adalah konten siaran atau bagian dari bentuk siaran, maka perlu ada pihak yang mengaturnya. Negara mutlak harus melakukan pengaturan atau memberikan perlindungan kepada publik dari tayangan-tayangan yang negatif. Maka, lanjutnya, perlu ada pihak yang merepresentasikan negara untuk mengatur konten OTT. Pengaturan tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi kebebasan warga dalam menyampaikan pendapat atau berekspresi. Karena bagaimanapun, pendapat atau ekspresi warga adalah bagian dari hak dasar warga.
“Konten OTT perlu diawasi atau diatur karena memungkinkan memberi pengaruh buruk kepada publik, dapat menimbulkan moral panic karena mengandung muatan pornografi, sadisme, bahkan penipuan. Dalam hal-hal tertentu bahkan dapat mengancam kedaulatan negara, misalnya radikalisme dan terorisme. Pengaturan dan pengawasan konten OTT dapat dilakukan dengan menggunakan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran,” jelas mantan komisioner KPI tersebut.
Baca juga: DPR: Layanan OTT Bukan Termasuk Sistem Penyiaran Nasional
Peran KPI
Lebih lanjut Iswandi menyatakan pihak yang dibutuhkan negara untuk mengatur konten OTT adalah Komisi Penyiaran Indonesia atau lebih dikenal dengan KPI. Hal tersebut dikarenakan KPI telah memiliki instrumen-instrumen pengawasan penyiaran. Selain pedoman pengawasan, Iswandi menilai KPI juga mumpuni dari aspek ketersediaan sumber daya manusia yang andal dan terlatih. Terlebih lagi, KPI sudah berpengalaman selama 15 – 18 tahun dalam bidang pengawasan penyiaran.
“(KPI) tersebar di semua provinsi di Indonesia. Mereka mengalami proses pelatihan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran siaran yang cukup panjang sehingga tidak begitu kesulitan melakukan pengawasan pelanggaran siaran berbasis internet untuk jenis kategori OTT,” tegas Iswandi.
Kepanikan Moral
Dalam keterangannya, Iswandi menyebut jika masyarakat Indonesia mengalami kepanikan moral (moral panic) menghadapi serbuan layanan OTT global. Hal ini akibat ketiadaan peran serta negara dalam mengatur konten OTT. Ia menyebut beberapa kasus yang dipicu dari konten OTT sebagai dampak negatif.
“Sebut saja kasus Ferdian Paleka, Youtuber yang memberikan sembako sampah. Belum lagi mungkin kita menyimak pemberitaan ada sepasang suami istri di Kalibata yang melakukan mutilasi terhadap korban yang dipilihnya dan pelanggaran mutilasi itu diperoleh dari YouTube. Betapa besar pengaruh dari tayangan-tayangan negatif,” sebut Iswandi.
Menjawab pertanyaan dari perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika mengenai keberadaan UU ITE sebagai instrumen hukum layanan OTT, Iswandi menjawab bahwa UU ITE tidak mengatur pihak untuk mengawasi adanya konten OTT. “Menurut saya, UU Penyiaran sudah memadai hanya tinggal diberikan pasal-pasal untuk menyesuaikan dengan kemajuan teknologi,” ujar Iswandi.
Pentingnya Peran Negara
Pentingnya negara menyusun instrumen hukum untuk layanan OTT juga diungkapkan Ahli Hukum dan Legislasi Teknologi Informasi, Danrivanto Budhijanto. Apalagi menurutnya, Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar bagi layanan OTT global.
“Dalam satu menit menurut data Statista, saat pandemi Covid-19 secara luar biasa masyarakat menggunakan koneksi untuk film, foto, serta untuk berkomunikasi, baik dalam bentuk-bentuk digital maupun dengan menggunakan pendekatan platform OTT. Indonesia di Asia Tenggara merupakan negara dengan jumlah pengguna internet paling tinggi. Karena selain memiliki pulau-pulau yang sangat luas, Indonesia memiliki jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara sehingga infrastruktur internet merupakan suatu keniscayaan,” ungkap Danrivanto.
Hukum yang Progresif
Akibat serbuan dari layanan OTT tanpa pengaturan hukum yang jelas, Danrivanto menjelaskan adanya pertumbuhan minus yang dialami dunia pertelevisian Indonesia. Ia pun membandingkan sejumlah negara yang jauh lebih dahulu mengakomodasi secara hukum serbuan layanan OTT. Ia menyebut Amerika, China, India, Uni Eropa telah memiliki pengaturan terlebih dahulu untuk yang disebut dengan internet broadcasting, termasuk internet tv, digital streaming. Sementara di Indonesia, ia menyampaikan perlunya ada bentuk hukum yang progresif terkait teknologi.
“Menggunakan pemahaman hukum teknologi dan legislasi teknologi adalah apa yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, yaitu hukum bukan merupakan syarat mutlak karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Artinya legislasi teknologi di seluruh dunia sedang berusaha untuk merespon kemajuan teknologi. Akhirnya nantinya kita memiliki suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki pendekatan-pendekatan kedaulatan virtual,” tukasnya.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon No. 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon tediri atas Taufik Akbar dkk.
Para Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakuan yang berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.
Menurut para Pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran, menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti Layanan OTTtidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran. Karena tidak terikatnya penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet pada UU Penyiaran, padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, menurut para Pemohon, hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Andhini S.F