JAKARTA, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dengan tema Hukum Acara Peradilan MK. Kegiatan Ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) melalui aplikasi Zoom Meeting pada Sabtu (12/9/2020).
Pada acara tersebut, Aswanto menyampaikan dasar hukum pembentukan MK yakni Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingku`ngan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Selanjutnya Aswanto memaparkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), serta UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2).
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas Aswanto, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Adapun kewenangan yaitu MK menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sementara kewajiban MK yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Kemudian dalam perkembangan pelaksanaan kewenangannya, MK menyatakan Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. “Pasal 50 memuat ketentuan yang menyatakan bahwa UU yang dapat diuji di MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945,” kata Aswanto.
Namun pasal tersebut, jelas Aswanto, dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 ikhwal pengujian UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kadin. Dengan demikian MK berwenang menguji semua undang-undang yang telah disahkan.
Tak hanya itu, berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menyatakan berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
Melalui aplikasi Zoom Meeting dari Rumah DInas Wakil Ketua MK, Aswanto juga menjelaskan, MK melakukan pengujian baik secara materiil maupun pengujian secara formil. Pengujian materiil ialah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005. Sedangkan pengujian formil ialah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) PMK Nomor 06/PMK/2005.
Mengenai batas waktu pengujian formil, MK telah menetapkan bahwa batas waktu pengujian formil suatu UU adalah 45 hari setelah UU tersebut dimuat dalam lembaran negara. Sedangkan Pengujian materiil tidak ada batas waktunya. Hal ini berdasarkan Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Foto: Gani