JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK), pada Rabu (9/9/2020). Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 71/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh R.M. Punto Wibisono. Adapun materi yang diujikan Pemohon yaitu Pasal 50 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 70 ayat (2) UU MA seta Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU KK. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 50 ayat (1) UU MA menyatakan, “Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau saksi.” Pasal 66 ayat (1) UU MA menyatakan, “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.” Pasal 70 ayat (2) UU MA menyatakan, “Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir.”
Kemudian Pasal 24 ayat (1) UU KK menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.” Pasal 24 ayat (2) UU KK menyatakan, “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”
Pemohon melalui kuasa hukm Bahrul Ilmu Yakup mendalilkan pengujian undang-undang ini didorong oleh adanya kasus konkret yang dialami Pemohon. Pemohon telah kehilangan hak milik atas tanah karena Pemohon telah dikalahkan oleh putusan pengadilan dalam Perkara Perdata Nomor 257/PDT.G/2008/PN.TNG juncto Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Banten Nomor 80/PDT/2009/PT.BTN juncto Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 808K/PDT/2010 juncto Putusan PK MA Nomor 591 PK/PDT/2012.
Rangkaian Putusan Pengadilan dalam perkara perdata tersebut ternyata keliru setelah muncul Putusan Nomor 998/Pid.B/2014/PN.TNG tanggal 8 September 2014. Setelah mengetahui adanya bukti baru (novum) berupa putusan ini, Pemohon hendak mengajukan permohonan PK terhadap putusan-putusan sebelumnya. Namun hal ini tidak dapat Pemohon wujudkan karena ada norma Pasal 24 ayat (2) UU KK dan Pasal 66 ayat (1) UU MA yang membatasi Permohonan PK hanya satu kali. Akibatnya, Pemohon tidak dapat mengoreksi rangkaian putusan yang keliru tersebut.
“Pembatasan ini jelas merugikan hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh jaminan hukum yang adil yang termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ungkap Bahrul di hadapan sidang panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama dua anggota panel yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Persidangan Tertutup
Pemohon juga mendalilkan kerugian konstitusional yang dialami berkaitan dengan penyelenggaraan persidangan secara tertutup di MA dalam mengadili pada tingkat Kasasi Putusan Nomor 808K./PDT/2010 dan mengadili pada PK pada Putusan PK Nomor 591PK/PDT/2012. Padahal dalam putusannya disebut persidangan terbuka untuk umum. Secara substansial, sambung Bahrul, sidang dilakukan tertutup karena sama sekali tidak dihadiri oleh pihak yang berperkara sebagai pencari keadilan maupun orang lain yang berkepentingan.
“Sehingga Pemohon tidak mengetahui proses yang dilalui dan Pemohon akhirnya tidak mendapat jaminan kepastian hukum yang adil dan tidak memperoleh perlindungan atas hartanya berupa tanah dari pengadilan,” ungkap Bahrul.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Daniel menasihati Pemohon agar tidak menitikberatkan pada kasus perdata dan pidananya saja. “Pemohon harap menguraikan dalam kedudukan hukum keterkaitan kerugian konstitusional yang dialami karena persidangan di MK berbeda dengan di MA,” sampai Daniel dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasihati Pemohon agar menjelaskan kedudukan hukum Pemohon yang masih belum sistematis. Selain itu, Pemohon juga perlu menguraikan alasan kerugian konstitusional yang dihubungkan dengan kasus konkret dalam permohonan.
“Di dalam permohonan belum tampak adanya uraian tentang kausalitas norma dengan kerugian konstitusionalnya,” kata Enny menasihati.
Berikutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihatnya juga menekankan pada argumentasi konstitusionalitas norma yang diajukan Pemohon. Dalam kasus konkret yang diuraikan Pemohon, perkara perdata Pemohon telah sampai pada PK dan sudah ada putusannya.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya hingga Selasa, 22 September 2020 pukul 13.30 WIB untuk menyerahkan perbaikan permohonan ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.
Foto: Gani.