JAKARTA, HUMAS MKRI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu pada posisi menolak jika dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Hal tersebut karena KPK menilai UU KPK cukup memadai untuk memberantas korupsi. Demikian keterangan yang disampaikan oleh Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang pada sidang lanjutan pengujian yang digelar pada Rabu (9/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang ke-11 dan 12 ini juga diperuntukkan bagi perkara nomor 59, 62, 70, 71, 73, 77, 79/PUU-XVII/2019. Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman ini beragendakan Mendengarkan Keterangan Ahli Presiden dan Saksi yang dihadirkan Agus Rahardjo dan Laode Muhamad Syarif dkk., selaku Pemohon dalam perkara nomor 79/PUU-XVII/2019.
Melalui video conference, Rasamala menyebutkan, alasan utama KPK menolak perubahan UU KPK pada 2019 lebih kepada prinsip bahwa KPK sebaiknya tidak diletakkan secara ekplisit dalam struktur kekuasaan eksekutif. Hal tersebut dipilih dengan mempertimbangkan potensi independensi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi di Indonesia. Selain itu, berkaitan dengan permasalahan Aparatur Sipil Negara yang disematkan pada status kepegawaian KPK serta adanya Dewan Pengawas KPK ini pun, sambung Rasamala, (hal tersebut) karena adanya analisis bahwa hal tersebut akan mengganggu independensi KPK.
“Selebihnya ada 26 dari pasal-pasal yang diajukan dalam perubahan tersebut yang juga kami berikan pendapat yang dimuat dalam press release,” ungkap Rasamala yang telah bergabung bersama KPK sejak 2008 ini.
Sehubungan dengan draft perubahan RUU KPK, Rasamala mengungkapkan pihak pimpinan KPK dan jajaran lembaga tidak menerima distribusi secara resmi atas draft tersebut. Bahkan setelah digelarnya bahasan perubahan RUU KPK, pihak KPK diakuinya tidak menerima naskah akademik sekalipun pada pimpinan dan bidang perencanaan peraturan hukum KPK.
Pentingnya Dewan Pengawas
Sementara itu, mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan selaku Ahli yang dihadirkan Pemerintah pada sidang ini mengungkapkan bahwa Dewan Pengawas KPK penting dan bersifat sangat instrumental. Justru hal tersebut perlu dilakukan untuk peningkatan status KPK. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan independensi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi, Maruarar menyarankan untuk dirumuskan secara rinci dalam Peraturan KPK.
“Independensi KPK harus dirumuskan dalam sebuah Peraturan KPK. Ada guide lines yang lebih rinci atas independensi KPK dan itu yang harus dilakukan. Dengan adanya aturan terkait independensi itu, sehingga lembaga ini tidak boleh ada intervensi,” terang Maruarar dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih jauh lagi, Maruarar mengungkapkan bahwa KPK merupakan sebuah konsep gagasan yang tidak sekali jadi dan terus berkembang hingga masa mendatang. Dan sehubungan dengan masalah korupsi, Maruarar berpendapat bahwa korupsi adalah masalah besar dan tidak bisa dianggap masalah sosial biasa karena berkaitan pula dengan masalah demokrasi yang luar biasa. “Karena korupsi, maka hak-hak demokrasi rakyat tidak berjalan, (sehingga) kita perlu bentuk gagasan integritas dan KPK perlu diangkat menjadi organ konstitusi,” jelas Maruarar.
Bertalian dengan adanya perubahan UU KPK, Maruarar berpendapat bahwa KPK pun harus mengikuti manajemen Pemerintah. Jika KPK tidak melakukannya, maka setiap upaya KPK tidak akan mendapatkan hasil yang masif. Perlu upaya dari KPK untuk berjuang menjadi organ konstitusi. “Selama keuntungan dari tindak korupsi tersebut masih ada, korupsi pun akan tetap jalan. Selama yang dikorupsi itu tidak kembali, maka korupsi akan jalan terus. Maka memelihara integritas dengan independensi pada lembaga tidak boleh dipercaya begitu saja, tetapi juga perlu berdasarkan pada kepercayaan dengan adanya dewan pengawas. Itu sah-sah saja,” kata Maruarar.
Sebagaimana diketahui, Perkara No. 59/PUU-XVI/2019 dimohonkan oleh 25 orang advokat yang menguji formil dan materil UU KPK. Para Pemohon berpendapat, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara. Proses pengesahan perubahan Undang-Undang KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Perubahan UU KPK dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Selanjutnya Gregorius Yonathan Deowikaputra, Pemohon Perkara 62/PUU-XVI/2019 mendalilkan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di website resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama. Sedangkan Fathul Wahid dkk. selaku Pemohon Perkara 70 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU No. 12/2011 sebelum perubahan.
Sementara itu, Perkara 71/PUU-XVI/2019 yang dimohonkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Berikutnya, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku Pemohon Perkara 73/PUU-XVI/2019 mengujikan Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK memberikan standardisasi yang proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat berbentuk diskriminatif.
Kemudian Jovi Andrea Bachtiar dkk untuk Perkara 77/PUU-XVI/2019 melakukan pengujian materiil antara lain Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Para Pemohon Perkara 79/PUU-XVI/2019 di antaranya Agus Rahardjo dan Laode Muhamad Syarif sebagai petinggi KPK berpandangan bahwa pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, para Pemohon berpandangan proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh undang-undang a quo.
Sebelum menutup persidangan, Anwar mengingatkan sidang berikutnya akan digelar pada Rabu, 23 September 2020 dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 pukul 11.00 WIB. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Raisa