JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) pada Selasa (25/8/2020). Sidang ketujuh terhadap perkara yang diregistrasi dengan Nomor 5/PUU-XVIII/2020 ini beragendakan mendengarkan keterangan Saksi yang dihadirkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia selaku Pemohon.
Manahara Siahaaan, seorang kontraktor yang dihadirkan Pemohon sebagai Saksi, menyampaikan bahwa dibandingkan dengan produk jaminan dari bank, produk suretyship memudahkan pihaknya dalam hal pembiayaan suatu proyek. Diakui oleh pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Gapeknas (Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional) ini, 90% usaha kontraktor terdiri atas perusahaan berskala menengah. Sehingga, pihaknya membutuhkan garansi pembiayaan, mulai dari tender awal hingga penyerahan proyek yang apabila menggunakan asuransi bank, pihaknya harus melakukan ikatan perjanjian kredit yang membutuhkan biaya besar.
“Misal dalam perjanjian butuh uang 40 miliar, kami harus mengeluarkan uang 100 juta rupiah. Bagi perusahaan kecil, jika minta garansi bank, maka harus berikan jaminan. Ini yang kami perusahaan kecil tidak punya aset untuk diserahkan pada bank,” cerita Manahara yang sejak tahun 2000 telah bergerak di bidang kontraktor.
Tanpa Agunan
Sementara itu, Cindra Parma selalu Saksi berikutnya yang dihadirkan AAUI, mengisahkan bahwa produk suretyship telah lama dikenal di dunia. Untuk kegiatan jaminan penawaran hingga pemeliharaan suatu proyek, perusahaan kontraktor diakuinya selalu menggunakan suretyship karena tidak membutuhkan agunan. “Cukup membayar premi dan sifatnya tetap unconditional,” ujar Cindra terhadap permohonan yang mendalilkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan UUD 1945.
Cindra juga menginformasikan bahwa OJK pun telah membentuk tiga konsorsium untuk memberikan jaminan terhadap pembangunan berbagai proyek guna mendukung pembangunan yang digadang oleh pemerintah hingga 2024 mendatang. Di antaranya, Konsorsium Penjaminan Proyek (KPP), Konsorsium Jaminan Surety Bond (KJSB), dan Konsorsium Penjamin Indonesia (KPI), yang di dalamnya bernaung perusahaan asuransi yang menjamin terbitnya jaminan pengerjaan proyek. Untuk itu, Cindra berharap perlu diberikan penguatan hukum bagi perusahaan konsorsium asuransi tersebut agar tetap bisa menerbitkan jaminan yang dibutuhkan kontraktor untuk pembangunan.
“Bahwa produk-produk yang ada di dalamnya memberikan kemudahan pada kontraktor dan jaminan pula pada pemerintah karena ini sifatnya tanpa syarat,” jelas Cindra di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Baca Juga:
Status Usaha Suretyship Tidak Jelas, Asosiasi Asuransi Gugat UU Perasuransian
Pemohon Uji UU Perasuransian Pertegas Argumentasi Kedudukan Hukum
Peran Pemerintah Mendorong Kapasitas Asuransi
DPR Kembali Berhalangan Hadir, Sidang Uji UU Perasuransian Ditunda
OJK: Lini Usaha Suretyship Boleh Dilakukan Perusahaan Penjaminan maupun Asuransi
DPR: UU Perasuransian Telah Mencakup Perluasan Usaha Suretyship
Sebagai informasi, menurut Pemohon norma yang dimohonkan pengujian di MK ini tidak secara tegas menyebut lini usaha suretyship sebagai perluasan usaha asuransi. Pelaksanaan suretyship hanya didasarkan pada norma tersebut yang memberikan wewenang kepada OJK untuk melakukan perluasan ruang lingkup. Dalam pandangan Pemohon, hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pemohon juga mendalilkan pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum sepanjang tidak dimaknai “mencantumkan suretyship sebagai perluasan jenis usaha asuransi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar mengatakan sidang berikutnya akan dilakukan kembali pada Kamis, 10 September 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dari Ahli dari Pemohon dan Ahli dari Mahkamah.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha