JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk Perkara 62, 70, 71, 73, 59, 77, 79/PUU-XVII/2019 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (24/8/2020). Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman meng agenda mendengarkan keterangan Saksi Pemohon Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019.
Budi Santoso yang pernah menjabat penasihat di KPK dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) 2019 Manik Marganamahendra hadir sebagai Saksi Pemohon Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019. “Peran penasihat di KPK diatur dalam Pasal 21, 22, 23, 24 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang memberi kesempatan dan peran cukup penting bagi penasihat di KPK,” jelas Budi kepada Majelis Hakim MK.
Dikatakan Budi, penasihat di KPK berperan memberikan pemikiran dan pertimbangan yang berhubungan dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi sesuai dengan kepakarannya, baik diminta atau tidak diminta. Penasihat di KPK juga berwenang memperoleh informasi tentang pemberantasan korupsi dari manapun sumbernya, serta memberi bantuan dalam penyiapan kebijakan nasional dan kebijakan umum dalam bidang pemberantasan korupsi. Selain itu, penasihat di KPK bertindak sebagai konsultan dalam penanganan kasus korupsi sesuai bidang dan kepakarannya, serta melakukan identifikasi dan mengkoordinasi pelaksanaan tugas lain dengan unit yang berkaitan, kemudian melaksanakan tugas lain yang memiliki hubungan dengan tugas dan kewenangan KPK atas perintah pimpinan KPK.
Selanjutnya, Budi menampik anggapan bahwa penasihat di KPK dinilai bekerja tidak full time dan pasif. “Penasihat di KPK bekerja dari Senin sampai Jumat, bahkan Sabtu dan Minggu masuk kerja. Selain itu (penasihat di KPK) melakukan finger print saat masuk dan pulang kerja, secara rutin memberi nasehat kepada pimpinan, mengikuti rapat untuk memberi masukan untuk KPK,” ungkap Budi.
Penguatan KPK
Terkait kedudukannya sebagai Saksi Pemohon Perkara 79/PUU-XVII/2019, Budi menerangkan pengalamannya saat menjabat sebagai penasihat di KPK yang menurutnya berakhir pada Juli 2021. Namun, kata Budi, dengan diundangkan UU No. 19/2019 sebagai revisi dari UU 30/2002, masa jabatannya sebagai penasihat di KPK berakhir pada Desember 2019 karena dalam UU 19/2019 tentang KPK tidak disebutkan adanya jabatan penasihat di KPK.
Budi juga menjelaskan mengenai Panitia Angket DPR tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018. Pada intinya, Pansus meminta penguatan KPK pada aspek kelembagaan, kewenangan, tata kelola SDM dan anggaran. Di antaranya, yaitu menyempurnakan struktur organisasi KPK dan meminta KPK meningkatkan kerja sama dengan lembaga penegak hukum serta lembaga lainnya, seperti BPK, LPSK, PPATK, Komnas HAM, dan pihak perbankan dalam menjalankan upaya pemberantasan korupsi. Dari poin-poin Pansus DPR, disebutkan perlunya lembaga pengawasan independen di KPK. “Kalau mau dibedah, pengawasan di KPK sudah berlapis-lapis. Internal ada, eksternal juga ada. Media massa dan publik termasuk ikut mengawasi,” tegas Budi.
Kemudian, Budi menilai kemunculan RUU KPK sangat mengagetkan publik termasuk internal KPK. Pada saat itu, KPK diakui Budi sedang sibuk mengurusi calon pimpinan KPK yang baru. “Sejak awal KPK tidak pernah diinfokan ada rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, apalagi dilibatkan dalam pembahasan. Kami mencoba mencari info ke Kementerian Hukum dan HAM maupun ke Istana untuk menanyakan kenapa KPK sebagai stakeholder revisi undang-undang tersebut tidak diinfokan. Selain itu kami pernah meminta draft terakhir RUU tersebut. Namun kami hanya dijanjikan, tidak pernah diberikan,” imbuh Budi.
Tuntutan Mahasiswa
Sementara itu, Manik Marganamahendra menuturkan pengalamannya melakukan demo ke DPR bersama mahasiswa dari berbagai universitas yang menyatakan menolak revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). “BEM UI sejak lama memiliki kepedulian terhadap isu pemberantasan korupsi. Kami bersama para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi akan terus mengawal isu korupsi, baik melakukan aksi maupun dengan cara lain,” ucap Manik.
Sejumlah tuntutan diajukan oleh para mahasiswa pada September 2019. Di antaranya, menolak pengesahan RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan RUU Ketenegakerjaan. Mahasiswa juga mendesak pembatalan revisi UU KPK dan UU SDA, menuntut pengesahan RUU PKS, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Selain itu, mahasiswa meminta pimpinan KPK terpilih dibatalkan statusnya karena dianggap bermasalah, termasuk meminta TNI dan Polri agar tidak menduduki jabatan sipil. Mahasiswa juga mendesak penghentian kriminalisasi aktivis, menuntut persoalan kebakaran hutan dan lahan atau karhutla, meminta kasus pelanggaran HAM dituntaskan, serta pelanggar dari lingkup pejabat ditindak dan hak-hak korban dipulihkan.
Sebagaimana diketahui, Perkara No. 59/PUU-XVI/2019 dimohonkan oleh 25 orang advokat yang menguji formil dan materil UU KPK. Para Pemohon berpendapat, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara. Proses pengesahan perubahan Undang-Undang KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Perubahan UU KPK dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Selanjutnya Gregorius Yonathan Deowikaputra, Pemohon Perkara 62 menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di website resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama. Sedangkan Fathul Wahid dkk. selaku Pemohon Perkara 70 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU No. 12/2011 sebelum perubahan.
Sementara Perkara 71 dimohonkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Berikutnya, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku Pemohon Perkara 73 menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK memberikan standardisasi yang proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat berbentuk diskriminatif.
Kemudian Jovi Andrea Bachtiar dkk untuk Perkara 77 melakukan pengujian materiil antara lain Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Sedangkan para Pemohon Perkara 79 antara lain adalah Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif sebagai petinggi KPK. Para Pemohon berpandangan, pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, para Pemohon berpandangan proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh undang-undang a quo tersebut. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Raisa Ayudhita