JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Demikian sidang pengucapan Putusan Nomor 18/PUU-XVIII/2020 yang digelar digelar di MK pada Rabu (22/7/2020).
Permohonan uji materi UU Pilkada ini diajukan oleh sejumlah anggota Komisioner Bawaslu Provinsi dan Kabupaten. Mereka adalah, Tiuridah Silitonga (Anggota Bawaslu Kabupaten Karimun), Indrawan Susilo Prabowoadi (Anggota Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau), Nurhidayat (Anggota Bawaslu Kabupaten Karimun), dan Mohammad Fadli (Anggota Bawaslu Kabupaten Karimun). Para Pemohon menguji materiil Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada terhadap UUD 1945.
Pasal 134 ayat (4) UU Pilkada menyatakan, “Laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilihan”. Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada menyatakan, “Dalam hal laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dikaji dan terbukti kebenarannya, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima”. Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada menyatakan, “Dalam hal diperlukan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS dapat meminta keterangan tambahan dari pelapor dalam waktu paling lama 2 (dua) hari”. Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada menyatakan, “Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya laporan atau temuan”.
Baca Juga…
Menguji Limitasi Waktu Pelaporan Pelanggaran dalam UU Pilkada
Pemohon Uji UU Pilkada Perbaiki Batu Uji
Telah Diatur Secara Jelas
Mahkamah melalui Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan bahwa pengaturan mekanisme dan batas waktu penanganan pelanggaran serta penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagaimana diatur dalam norma UU Pilkada sama sekali tidak dapat dikualifikasikan telah menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum.
Menurut Mahkamah, pada Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada tidak ditemukan adanya ketidakjelasan, ketidaklengkapan, ataupun pengaturan yang multitafsir. Mekanisme penanganan laporan dan penyelesaian sengketa telah diatur secara jelas dengan batas waktu pasti. Dengan demikian proses penanganan pelanggaran pun telah penuhi standar kepastian hukum.
“Dengan ketentuan a quo, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/kota dapat dikatakan telah memiliki panduan hukum yang jelas dalam melakukan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pilkada, “ ucap Saldi membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 18 PUU-XVIII/2020 ini di Ruang Sidang Pleno MK.
Implementasi Norma
Sehubungan dengan optimalisasi pelaksanaan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada oleh Bawaslu seperti yang didalilkan para Pemohon, Mahkamah menilai bahwa hal tersebut bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi masalah implementasi norma. Dengan kata lain, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dapat membuat desain serta strategi pengawasan dan penegakan hukum pilkada yang lebih efektif. Sehingga tenggat waktu berdasarkan ukuran hari kalender yang disediakan undang-undang dapat dipenuhi secara baik dan optimal.
“Oleh karena norma-norma a quo tidak mengandung ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan para Pemohon, maka dalil para Pemohon sepanjang makna hari sebagai hari kalender telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum tidak beralasan menurut hukum,” kata Saldi di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Kurang Proporsional
Selanjutnya, terkait dengan beban kerja yang tidak seberat pemilu anggota legislatif, Saldi mengatakan bahwa jumlah peserta yang lebih sederhana serta potensi jumlah kasus yang tidak akan sebanyak kasus pemilu, maka lebih pendeknya waktu penanganan pelanggaran Pilkada dibandingkan Pemilu merupakan kebijakan hukum yang dapat diterima. Menurut Mahkamah dengan menyamakan standar waktu penanganan antara penyelenggaraan pemilu dengan beban kerja, yang jauh lebih tinggi dengan penyelenggaraan pilkada yang lebih rendah dapat dinilai sebagai kebijakan yang kurang proporsional.
“Oleh karena itu, dalil para Pemohon perihal telah terjadi ketidakpastian akibat berbedanya pengaturan tenggang waktu dalam UU Pilkada dengan UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum,” kata Saldi.
Dengan demikian, kebijakan hukum pembentuk undang-undang dalam menentukan tenggang waktu penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada, masih dalam kerangka prinsip proporsionalitas dan kejelasan pengaturan terkait mekanisme dan tenggang waktu penanganan pelanggaran Pilkada. Sekalipun tenggang waktu penanganan pelanggaran Pilkada berbeda dengan tenggang waktu penanganan pelanggaran Pemilu, Mahkamah menilai kebijakan hukum dimaksud masih proporsional ditinjau dari aspek perbedaan beban kerja penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.