JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketentuan penutup dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) membuka peluang korupsi bagi para koruptor sebagaimana tertuang dalam Pasal 70C UU KPK. Dalam aturan tersebut menyebutkan saat UU KPK berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang baru.
Hal ini disampaikan oleh Trisno Raharjo selalu Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara 70/PUU-XVII/2019 dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melalui video conference dalam sidang kesepuluh uji materiil UU KPK. Sidang untuk Perkara 62, 70, 71, 73, 59, 77, 79/PUU-XVII/2019 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (14/7/2020) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan Saksi yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
“Ketentuan ini adalah penegasan yang berlaku adalah undang-undang berlaku seluruhnya, bukan undang-undang yang lama. Hal ini dapat membebaskan pelaku tindak pidana korupsi dari dakwaannya,” ujar Trisno.
Baca juga: Ahli Sebut Pembentukan UU KPK Revisi Tidak Sah
Selain itu, Trisno mengatakan penyusunan perubahan UU KPK kedua telah menghilangkan ketentuan-ketentuan yang disusun saat penyusunan UU KPK pada 2002. “(Pada penyusunan UU KPK tahun 2002) ada upaya-upaya luar biasa yang secara filosofis ditekankan pada pemberantasan terhadap korupsi dan nepotisme. Upaya luar bisa tersebut kini telah kehilangan ruhnya,” kata Trisno yang hadir dalam kapasitasnya sebagai ahli sistem peradilan pidana.
Trisno melanjutkan, dalam kebijakan hukum pidana, penyusunan (suatu kebijakan hukum) ditujukan untuk perlindungan masyarakat, sebagai upaya mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. “Apa yang seharusnya dirumuskan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan ini, tampaknya tidak terlihat dalam UU KPK,” jelas Trisno.
Ketidakjelasan Konsep
Menurut Trisno, desain UU KPK tidak memiliki kejelasan konsep dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh karena telah dihilangkannya dasar pemikiran atau filosofi penyusunannya. Pernyataan-pernyataan mengenai korupsi merupakan tindak kejahatan masif yang belum dapat dituntaskan, dihilangkan begitu saja tanpa adanya kajian yang mendalam.
Trisno mencermati bahwa terdapat upaya penyusun undang-undang agar KPK bisa melakukan supervisi dan koordinasi sehingga penanganan perkara korupsi dilakukan secara terpadu. Namun, Trisno juga menyampaikan, “Sayangnya, ketentuan tentang keterpaduan dan supervisi ini tidak bisa lagi kita lihat karena perubahan Undang-Undang KPK kedua ini menyebabkan kewenangan KPK menjadi berkurang akibat tidak dapat lagi melakukan supervisi dengan baik. Sebab ketentuan tentang supervisi ini nanti akan diatur oleh peraturan pemerintah, lalu dihubungkan kepada KPK apabila melakukan penuntutan harus berkoordinasi menurut undang-undang,” urai Trisno.
Gerakan Akademisi Tolak Revisi
Sementara Saksi Perkara 79/PUU-XVII/2019, ekonom lulusan UGM Rimawan Pradiptyo mengungkapkan adanya gerakan akademisi dalam menolak revisi UU KPK. Dikatakan Rimawan, wacana merevisi UU KPK sudah mengemuka sejak 2015. Namun, pada saat itu, para akademisi dan penggiat antikorupsi memandang bahwa sebenarnya hal yang lebih mendesak untuk direvisi adalah UU Tindak Pidana Korupsi.
Rimawan melanjutkan, sejak 2019 ada pula gerakan akademisi dan ekonom yang keduanya bersifat spontan. “Hingga kini, bahkan saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia, kami sudah melakukan gerakan antikorupsi. Selain itu sejak 7 September 2019, ada Gerakan Aliansi Akademisi Indonesia dari berbagai kampus dengan membuat WhatsApp setengah halaman berisi pernyataan sikap yang menolak revisi UU KPK. Namun pada 10 September 2019 WhatsApp tersebut sempat di-hack padahal saat itu kami sudah mendapat dukungan ribuan para mahasiswa se-Indonesia,” tutur Rimawan yang juga menerangkan adanya gerakan dosen UGM yang menolak revisi UU KPK.
Sebagaimana diketahui, Perkara Nomor 59/PUU-XVI/2019 dimohonkan oleh 25 orang advokat yang menguji formil dan materil UU KPK. Para Pemohon berpendapat, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara. Proses pengesahan perubahan Undang-Undang KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Perubahan UU KPK dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Selanjutnya Gregorius Yonathan Deowikaputra, Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XVI/2019 menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di laman resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama.
Sedangkan Fathul Wahid dkk. selaku Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVI/2019 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU 12/2011 sebelum perubahan.
Sementara Perkara 71/PUU-XVI/2019 dimohonkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi.
Berikutnya, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku Pemohon Perkara 73/PUU-XVI/2019 menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK memberikan standardisasi yang proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat berbentuk diskriminatif.
Kemudian Jovi Andrea Bachtiar dkk untuk Perkara 77/PUU-XVI/2019 melakukan pengujian materiil antara lain Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Sedangkan para Pemohon Perkara 79/PUU-XVI/2019, yakni Agus Rahardjo dan Laode Muhamad Syarif yang merupakan eks petinggi KPK. Para Pemohon berpandangan, pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, para Pemohon berpandangan proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh undang-undang a quo. (Nano Tresna Arfana/RA/LA)