JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) pada Kamis (9/7/2020) siang. Sidang dilaksanakan oleh Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Para Pemohon perkara Nomor 39/PUU-XVIII/2020 ini diwakili kuasa hukum M. Imam Nasef. Perbaikan permohonan, antara lain dalam Kewenangan Mahkamah, Pemohon menambahkan pasal UUD 1945, UU MK, UU Kehakiman, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Peraturan MK. “Ini sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan,” kata Imam.
Berikutnya, perbaikan permohonan terkait kedudukan hukum Pemohon II. Karena salah satu yang mewakili Pemohon II adalah Warga Negara Asing (WNA) dalam hal ini Jarod Suwahjo. ”Kami menambahkan satu poin terkait legalitas Pak Jarod Suwahjo dengan mencantumkan WNA dimungkinkan menjadi pengurus, sepanjang salah satunya adalah direktur keuangan. Kami juga mencantumkan Keputusan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Asing dan Perluasan Kesempatan Kerja yang menyatakan Pak Jarod Suwahjo dipekerjakan oleh Pemohon Prinsipal,” jelas Imam.
Sedangkan dalam pokok permohonan, Pemohon merevisi batu uji pengujian undang-undang. Sebelumnya Pemohon mencantumkan empat pasal, diubah menjadi tiga pasal. Selain itu dalam pokok permohonan, Pemohon menambahkan uraian mengenai konvergensi teknologi informasi dan komunikasi maupun kerangka teoritis dari pakar yang kompeten di bidang hukum. Termasuk memasukkan Teori Hukum Progresif dalam perbaikan permohonan.
Baca Juga…
RCTI dan iNews Persoalkan Ketiadaan Aturan Siaran Melalui Internet
Sebagaimana diketahui, uji materi UU Penyiaran ini dimohonkan oleh PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon tediri atas Taufik Akbar dkk.
Para Pemohon melakukan pengujian materiil UU Penyiaran Pasal 1 angka 2, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakukan yang berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.
Menurut para Pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak, menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran. Karena tidak terikatnya penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet pada UU Penyiaran, padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Menurut para Pemohon, hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan. Sebagai rule of the game penyelenggaraan penyiaran, UU a quo mengatur setidaknya 6 (enam) hal sebagai berikut: (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (ii) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (iii) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.
Menurut para Pemohon, pembedaan perlakuan tersebut terjadi karena keenam hal di atas hanya berlaku bagi penyelenggara penyiaran konvensional seperti para Pemohon dan tidak berlaku bagi penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT. Pembedaan tersebut berimplikasi pada ketiadaan “level playing field” dalam penyelenggaraan penyiaran, yang akhirnya sangat merugikan para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional baik secara materil maupun immateriil.
Para Pemohon juga mendalilkan adanya diversifikasi penyiaran berbasis internet dengan fenomena munculnya layanan OTT yang belum berkepastian hukum dalam UU Penyiaran. Perkembangan internet yang begitu pesat tersebut telah melahirkan berbagai macam platform digital yang dikenal dengan layanan OTT. Layanan OTT yang output-nya berupa konten gambar, audio, video dan/atau gabungan dari itu semua atau yang masuk ke dalam kategori konten/video on demand/streaming (dalam Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 3/2016 disebutkan sebagai Layanan Konten Melalui Internet) sebenarnya masuk kategori “siaran” apabila merujuk kepada definisi siaran yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran, “Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran”. (Nano Tresna Arfana/ASF/NRA).