JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU Penanganan Covid-19), pada Rabu (8/7/2020). Sidang gabungan dua perkara yaitu perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 38/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), peneliti dan pegiat advokasi.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Pemohon Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Violla Reininda menyebutkan alasan pengujian formil UU Penanganan Covid-19. Pada prinsipnya, terang Violla, terdapat dua argumentasi yakni tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan untuk menentukan apakah Perppu tersebut disetujui atau tidak. Kemudian, rapat virtual yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpotensi tidak dihadiri secara konkret oleh anggota DPR. Menurut Violla, dalil tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 22D Ayat (2) dan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945.
Para pemohon menarik benang merah antara Pasal 22 UUD 1945 tentang penerbitan dan penetapan Perppu oleh DPR dengan pasal 22D tentang wewenang DPD untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan perihal rancangan UU yang berkenaan dengan topik Pemerintahaan Daerah (Pemda). Menurutnya, produk hukum penetapan Perppu adalah rancangan UU. Sehingga, menjadi logis untuk melibatkan DPD dalam proses pembahasan untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu Perppu dalam hal ini Perppu Covid-19. Hal ini juga diperkuat dengan pasal 71 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan pembahasan UU tentang penetapan Perppu dilakukan dengan mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan UU.
Sementara untuk pengujian materiil, lanjut Violla, pihaknya menegaskan kembali kaitan pengujian pasal-pasal dalam UUD dengan keadaan darurat seperti saat ini. “Di sini kami hendak menarikkan garis dari Pasal 12 UUD 1945 soal kewenangan Presiden untuk menentukan keadaan bahaya dengan pasal 22 tentang penerbitan Perppu,” ujarnya. Ia menegaskan, pihaknya mengaitkan hubungan kausalitas bahwa penerbitan Perppu harus dilaksanakan dengan Pasal 12 UUD 1945 tersebut.
Sementara untuk perkara yang teregistrasi Nomor 38/PUU-XVIII/2020, Boyamin Bin Saiman selaku pemohon mengatakan terdapat dua hal formil yang diajukan yakni menyangkut masa sidang dan tentang voting. Menurutnya tidak ada toleransi pengesahan UU ini tidak sah. “Apabila ini ditolerir maka sangat membahayakan untuk semua rakyat dan MK,” ujar Boyamin.
Baca Juga…
Sejumlah LSM dan Peneliti Menguji UU Covid-19
Pada Sidang Pendahuluan, para Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 mendalilkan Pasal 1 ayat (3); Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf b; Pasal 4 ayat (2), Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10; Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3); serta Pasal 29 UU Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon menyatakan keberlakuan norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tersebut memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi pendidikan. Akibatnya, Pemohon kesulitan untuk berpartisipasi melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang dibuatnya untuk meningkatkan pendidikan kerakyatan.
Selain itu keberlakukan norma tersebut yang lingkup pengaturannya sangat luas, berimplikasi pada bahaya penyalahgunaan keuangan negara. Keluasan ini dapat saja dimanfaatkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas keuangan negara yang tidak mengandung unsur kemendesakan. Para Pemohon mencermat bahwa pada Judul dan Pasal 1 ayat (3) UU Covid-19 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prasyarat kegentingan yang memaksa.
Selain itu, para Pemohon juga menilai Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3 UU Penanganan Covid-19 bertentangan dengan prinsip negara hukum, kedaulatan rakyat, fungsi pengawasan dan anggaran DPR serta pengelolaan keuangan negara. Meskipun dalam masa darurat, Presiden sebagai pemegang kekuasaan penyelenggara negara agar tidak menyimpang dari konstitusi, haruslah tetap diimbangi oleh kekuasaan legisatif untuk melakukan pengawasan dalam mengevaluasi besaran defisit dan kemampuan keuangan negara pada tiap tahun anggaran.
Bertentangan dengan Asas Otonomi
Para Pemohon juga melihat Pasal 3 ayat (2) UU Penanganan Covid-19 bertentangan dengan asas otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UU 1945. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan dan kemandirian untuk menentukan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Padahal penyususnan dan pengelolaan APBD merupakan aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Berikutnya Pasal 29 UU Covid-19 ini juga dinilai para Pemohon tidak memberikan jangka waktu keberlakuannya kendati diterbitkan dalam rangka menyelesaikan persoalan masa darurat kesehatan masyarakat. Dengan demikian, untuk menciptakan kepastian hukum yang adil maka perlu dilakukan pembatasan masa berlakunya hingga status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 ini dicabut presiden.
Kebal Hukum
Pada kesempatan yang sama, para Pemohon perkara yang teregistrasi Nomor 38/PUU-XVIII/2020 memaparkan permohonan pengujian formil dan materiil Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 27 UU Penanganan Covid-19 menjadikan penguasa atau pejabat KKSK, OJK, BI, pejabat Kementerian Keuangan, menjadi kebal hukum. Mereka tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana, maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara.
“Sehingga ketentuan norma ini menjadikan para pejabat tersebut menjadi manusia setengah dewa dan ini menciderai keadlan bagi seluruh rakyat Indonesai termasuk para Pemohon,” terang Kurniawan Adi Nugroho.
Untuk itu, para Pemohon memohonkan kepada Mahkamah menyatakan Pasal 27; Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 7A, Pasal 23E, Pasal 24 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. (Utami/Halim/NRA).