JAKARTA, HUMAS MKRI - Subtansi pembatasan dan larangan yang diatur dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada dasarnya berdimensi hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi melalui konsepsi ini, hukum melarang siapa pun yang dengan sengaja atau tanpa hak melawan hukum, melakukan transmisi informasi elektronik untuk kepentingan yang bersifat komersial.
“Hak moral dimensi ini mendasari kewajiban lembaga penyiaran untuk antara lain menyebutkan identitas karya siaran hak siar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penyiaran,” ujar Henry Soelistyo Budi, ahli yang dihadirkan RCTI (Pihak Terkait) dalam sidang pengujian UU ITE pada Selasa (30/6/2020) siang.
Baca juga: Ahli: Lembaga Penyiaran Wajib Cantumkan Hak Siar
Dikatakan Henry, beberapa ketentuan dalam UU ITE secara substantif mengatur mengenai akses ilegal, penyadapan ilegal, gangguan data, gangguan sistem, penyalahgunaan perangkat dan pemalsuan yang berhubungan dengan komputer. Hal itu masing-masing diatur dalam Pasal 30 sampai Pasal 35 UU ITE. Salah satu ketentuan yang relevan untuk dirujuk terkait pengaturan mengenai gangguan data, yang dalam Pasal 32 ayat 1 UU ITE dijabarkan dengan mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Tindakan-tindakan seperti itu apabila dilakukan secara sengaja, tanpa hak atau melawan hukum dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
“Merujuk pada realitas permasalahannya, terdapat tiga hal yang perlu mendapat catatan. Pertama, dalam era digital saat ini lembaga penyiaran mengandalkan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Termasuk infrastruktur jaringan dan sistem koneksi penyiaran berbasis teknologi informasi. Pada titik ini terlihat jelas keterkaitan antara UU ITE dengan kegiatan penyiaran. Tindakan Pemohon yang telah mengakses dan mengambil konten siaran yang free to air secara tanpa izin dan selanjutnya mentransmisikan untuk kegiatan siaran yang bersifat komersial harus dianggap sebagai tindakan perampasan hak yang dilarang oleh UU ITE,” papar Henry kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Hal kedua, sambung Henry, tindakan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) mentransmisikan konten siaran free to air dari lembaga penyiaran lain betapapun merupakan kegiatan yang tunduk kepada pengaturan UU No. 32 Tahun 2012 tentang Penyiaran. Hal ketiga, UU Penyiaran berlaku mengikat LPB dalam menjalankan kewajiban hukum, menyiarkan materi siaran, sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini UU ITE dan UU Hak Cipta.
Diterbitkan Pejabat Pemerintah
Sementara itu Zainal Muttaqin ahli yang dihadirkan oleh PT. Sriwijaya Mitra Media dan PT. Indonesia Cable Television Association (ICTA) yang menjelaskan mengenai izin penyiaran. “Izin diterbitkan oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa izin berada pada ranah hukum publik. Karena izin merupakan implementasi wewenang pejabat,” jelas Zainal.
Zainal melanjutkan, lembaga penyiaran merupakan subjek hukum yang diberi izin untuk melakukan suatu kegiatan penyiaran. “Dia bukan badan atau pejabat yang diberi kewenangan untuk memberikan izin. Karena izin merupakan wewenang pejabat. Hubungan hukum antara lembaga penyiaran dengan pihak lain merupakan hubungan hukum perdata yang akan melahirkan suatu perjanjian yang keabsahannya didasarkan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” ucap Zainal.
Ditegaskan Zainal, izin akan terbit melalui prosedur permohonan yang dilengkapi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum.”Mengingat banyaknya jenis perizinan, persyaratan izin tidak akan sama satu sama lain. Tergantung dampak yang harus dilindungi akibat kegiatan atau perbuatan yang diberikan izin tersebut,” kata Zainal.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 78/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Nadira Intermedia Nusantara yang menguji Pasal 32 ayat (1) UU ITE. Pasal tersebut menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.”
Pemohon juga menguji Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Nomor 28/2014, “Hak ekonomi Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penyiaran ulang siaran …”
Pemohon mendalilkan, telah dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 25 Ayat (2) huruf a UU Hak Cipta karena dianggap melakukan “penyiaran ulang siaran”. Pemohon yang melaksanakan ketentuan UU Penyiaran untuk menyalurkan paling sedikit 10% dari program lembaga penyiaran publik (TVRI) dan lembaga penyiaran swasta (TV-TV swasta yang bersiaran secara free to air) justru dilaporkan oleh karyawan PT. MNC SKY VISION ke pihak kepolisian karena menayangkan hasil karya cipta TV MNC Group. (Nano Tresna Arfana/Halim/LA)