Warga Solo Uji Perppu Pilkada Serentak di Tengah Pandemi Covid-19
Kamis, 25 Juni 2020
| 07:55 WIB
Ketua Panel Sidang Hakim Konstitusi Saldi Isra bersama Hakim Daniel Yusmic dan Hakim Manahan MP Sitompul membuka sidang perdana pengujian materiil Undang - Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Rabu (24/6) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.
JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian materiil Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Perppu 2/2020) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/06/2020). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 44/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP), yang diwakili oleh Johan Syafaat Mahanani (Ketua) dan Almas Tsaqibbirru RE A (Sekretaris).
Persidangan dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan ini dilaksanakan secara jarak jauh melalui video converence. Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Saldi Isra selaku Ketua Panel bersama dua Anggota Panel yaitu Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yucmic Pancastaki Foekh memeriksa permohonan dari Gedung MK di Jakarta. Sementara Pemohon didampingi tim kuasa hukum Kartika Law Firm, memaparkan pokok permohonan dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Dalam Permohonannya, para pemohon mengajukan uji materiil Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Perppu 2/2020. Perppu ini dikeluarkan karena adanya bencana Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) yang telah terjadi di sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Pasal 201A ayat (1) Perppu 2/2020 menyatakan, “Pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi bencana nonalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1).” Kemudian Pasal 201A ayat (2) Perppu 2/2020 menyatakan, “Pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020.”
Kuasa hukum Pemohon, Sigit Nugroho Sudibyanto memaparkan, Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2) Perppu 2/2020 menyatakan pemungutan suara serentak akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Menurutnya hal ini tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang masih terpuruk karena Pandemi Covid-19.
Ia mengatakan, tidak ada kegentingan memaksa untuk tetap dilaksanakannya pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2020. Pemungutan suara serentak pada Desember 2020 mendatang justru bertentangan dengan kebijakan pemerintah mengenai social distancing untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Menurutnya, Pilkada yang akan tetap dilaksanakan pada Desember 2020 dan tahapan Pilkada yang akan dimulai Juni 2020 di tengah pandemi Covid-19, akan berpotensi meningkatkan resiko menyebarnya Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia. Sangat disayangkan jika Pilkada serentak tetap dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Seharusnya, lanjut Sigit, pemerintah memikirkan rakyat Indonesia yang saat ini membutuhkan bantuan pemerintah di tengah pandemi Covid-19 daripada membahas Pilkada serentak di bulan Desember 2020 nanti.
Selain itu, menurut pemohon, Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020 juga akan berpotensi memakan anggaran yang besar dikarenakan untuk biaya Alat Pelindung Diri (APD). Padahal di sisi lain anggaran untuk penanganan Covid-19 sudah sangat besar apalagi ditambah anggaran yang besar untuk Pilkada Serentak pada bulan Desember 2020 hal tersebut tentu akan menguras uang negara.
“Alasan pemerintah untuk tetap meIaksanakan Pilkada serentak karena Pandemi Covid-19 tidak bisa diprekdisi kapan akan berakhir. Sejumlah Negara tetap meIaksanakan pemilu lokal maupun nasional di tengah Covid-19 dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Namun, alasan tersebut tidak bisa disamaratakan dengan Negara Indonesia,” kata Sigit.
Ia menegaskan, Pemohon dan masyarakat sebagai warga negara Indonesia menginginkan Pilkada Serentak ditunda sampai pandemi Covid-19 berakhir agar Pemohon dan masyarakat Indonesia tidak khawatir akan tertular Covid-19 ketika Pilkada serentak dilaksanakan.
Berdasarkan alasan-alasan permohonan tersebut, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar Pilkada Serentak 2020 yang akan dilaksanakan di bulan Desember di tengah bencana non-alam pandemi Covid-19 berdasarakan Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Perppu 2/2020 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, menyatakan Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Perppu nomor 2 Tahun 2020 mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai tahapan Pilkada serentak dapat dilaksanakan setelah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dicabut.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menyarankan pemohon untuk menguraikan legal standing pemohon untuk menyakinkan hakim. “Jadi harus ada uraian itu, untuk menyakinkan hakim terkait legal standingnya. Kalo misalnya mewakili badan atau lembaga harus bisa menguraikan kerugian konstitusional yang akan terjadi,“ kata Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan pemohon untuk memperbaiki cara penulisan dalam permohonannya. “Cara penulisan pasal dan ayat serta penempatannya harap diperhatikan,“ ujar Manahan. Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta pemohon menguraikan hak-hak konstitusional mana yang dirugikan dengan berlakunya Perppu tersebut.
Sebelum mengakhiri persidangan, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada 7 Juli 2020 pukul 14.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Utami/Halim/NRA).