JAKARTA, HUMAS MKRI – Jika dilihat dari sisi pembentukan undang-undang, maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) tidak memenuhi unsur-unsur yang menyebabkan pembentukannya tidak sah. Demikian disampaikan oleh pakar Hukum Tata Negara Aan Eko Widiarto dalam sidang pengujian Perkara Nomor 62, 70, 71, 73, 59, 77, 79/PUU-XVII/2019 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/6/2020) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dua Ahli Pemohon melalui video conference dengan Ketua MK Anwar Usman sebagai pimpinan dengan didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Dalam keterangannya sebagai Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019, Aan menyebut bahwa sebuah undang-undang dalam pembentukannya harus mengikuti beberapa tahapan, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. “Jika semua unsur tahapan tersebut memenuhi dan berkesesuaian, berarti telah memenuhi unsur pembentukan undang-undang atau konstitusional,” ujar Aan yang juga merupakan Dosen FH Universitas Brawijaya.
Aan melanjutkan, dalam tahap perencanaan, sebuah undang-undang harus memenuhi unsur, di antaranya mengikuti prolegnas, dibahas secara bipartit oleh Presiden dan DPR, disetujui oleh alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi. Ia juga menyampaikan bahwa rencana revisi UU KPK sudah masuk dalam kumulatif terbuka pada 2015 dan sempat tidak masuk dalam periode 2017-2018. Kemudian, pada 2019, UU ini (UU KPK) juga termasuk ke dalam kumulatif terbuka. Kumulatif terbuka, lanjut Aan, yakni suatu rancangan undang-undang diperbolehkan masuk ke dalam prolegnas karena untuk menindaklanjuti penandatanganan perjanjian internasional, akibat putusan MK, dan lainnya.
Lebih lanjut Aan menerangkan Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 yang mengukuhkan KPK sebagai lembaga eksekutif. Sehingga menurutnya, materi muatan RUU KPK yang dimasukkan ke dalam perencanaan atau prolegnas seharusnya juga terkait penguatan KPK sebagai lembaga eksekutif. “Tapi yang terjadi apabila tidak, maka seharusnya itu bukan termasuk kumulatif terbuka dan tidak sah dalam perencanaan RUU yang termasuk dalam kumulatif terbuka,” jelas Aan.
Selain itu, Aan menjelaskan UU KPK tersebut memiliki keganjilan lain, yakni pengundangan dahulu, baru pengesahan yang terletak di bagian penutup. “Pembentukan undang-undang merupakan proses pembuatan undang-undang yang mencakup beberapa tahap, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Namun dalam naskah ini diundangkan dulu, baru disahkan,” ujar Aan.
Aan juga menegaskan tentang naskah akademik sebagai syarat pembentukan undang-undang. Aan menilai RUU KPK tidak memenuhi syarat dalam pembentukan undang-undang karena harus disertai naskah akademik. “Hal ini mengakibatkan salah alamat karena tidak mengargumentasikan masalah dalam RUU KPK yang sedang disusun,” tegas Aan.
Cacat Hukum
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang juga hadir sebagai Ahli Pemohon menyampaikan aspek-aspek formal UU KPK. “UU KPK baru merupakan perubahan atau secara substanstif dapat disebut pengganti UU KPK lama. Kekuasaan membentuk undang-undang meliputi membentuk undang-undang baru, mengadakan perubahan terhadap undang-undang lama, mengganti atau mencabut undang-undang lama,” jelas Bagir Manan selaku Ahli Pemohon Perkara 79/PUU-XVII/2019.
Dengan demikian, tambah Bagir, pembentukan UU KPK baru memang berada dalam kekuasaan membentuk undang-undang yaitu mengubah, mengganti UU KPK lama dengan UU KPK baru. UU KPK baru telah dibahas bersama-sama, baik dalam sidang-sidang terbuka maupun tertutup oleh DPR bersama Presiden menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang maupun ketentuan lain yang diatur dalam undang-undang.
“UU KPK baru merupakan hasil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Namun menurut catatan Pemohon, pengesahan persetujuan DPR dan Presiden tidak memenuhi kuorum karena tidak dihadiri sekurang-kurangnya 50 persen plus satu anggota DPR. Seandainya hal ini terbukti benar, pengesahan RUU KPK menjadi undang-undang bukan sekadar cacat hukum tapi juga tidak sah. Karena itu batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” tegas Bagir.
Sebagaimana diketahui, Perkara No. 59/PUU-XVI/2019 dimohonkan oleh 25 orang advokat yang menguji formil dan materil UU KPK. Para Pemohon berpendapat, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara. Proses pengesahan perubahan Undang-Undang KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Perubahan UU KPK dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Selanjutnya Gregorius Yonathan Deowikaputra, Pemohon Perkara 62 menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di website resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama.
Sedangkan Fathul Wahid dkk. selaku Pemohon Perkara 70 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU No. 12/2011 sebelum perubahan.
Sementara Perkara 71 dimohonkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi.
Berikutnya, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku Pemohon Perkara 73 menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK memberikan standardisasi yang proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat berbentuk diskriminatif.
Kemudian Jovi Andrea Bachtiar dkk untuk Perkara 77 melakukan pengujian materiil antara lain Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Sedangkan para Pemohon Perkara 79 antara lain adalah Agus Rahardjo dan Laode Muhamad Syarif yang merupakan eks petinggi KPK. Para Pemohon berpandangan, pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, para Pemohon berpandangan proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh undang-undang a quo. (Nano Tresna Arfana/RA/LA)