JAKARTA, HUMAS MKRI – Syarat pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan Kepala Daerah kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (15/6/2020).
Pemohon Perkara Nomor 22/PUU-XVIII/2020 ini adalah Anwar Hafid yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selaku Pemohon I serta Arkadius Dt. Intan Baso yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat selaku Pemohon II. Keduanya menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada. Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada berbunyi, "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Waliota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan, "
Salman Darwis selaku kuasa hukum Pemohon menerangkan, para pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 7 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3) dan Pasal 28H Ayat (2). Pemohon menilai secara konseptual anggota DPR, DPD, DPRD dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan yaitu "jabatan politik" sehingga anggota legislatif yang berkeinginan atau mendapatkan amanah dari rakyat untuk mencalonkan diri dalam jabatan kepala daerah seharusnya tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya.
“Dalam konteks keadilan pencalonan kepala daerah, jabatan anggota legislatif seyogyanya disamakan dengan calon pertahana (incumbent), yang hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye,” ujar Salman.
Sebagai landasan perbandingan untuk menilai “tepat atau tidak tepat”, lanjut Salman, mengharuskan anggota legislatif mengundurkan diri dari jabatannya dapat dirujuk dari jabatan menteri. Jabatan menteri yang merupakan jabatan politik tidak diharuskan untuk mengundurkan diri pada saat mencalonkan diri dalam kontestasi pemilu.
Salman melanjutkan, meskipun tidak mengundurkan diri, anggota legislatif tidak mutatis mutandis mempunyai posisi lebih menguntungkan dari calon lainnya dan dapat memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pemenangan. Hal ini karena pada prinsipnya kelembagaan kekuasaan legislatif tidak memiliki jaringan birokrasi yang dapat ditarik menjadi bagian dari strategi pemenangan.
Lebih lanjut, Salman mengatakan, untuk memastikan pencalonan anggota legislatif dalam jabatan kepala daerah tidak menghambat kinerja kelembagaan legislatif. Sehingga, syarat “mengundurkan diri” dapat diterapkan atau diberlakukan hanya pada jabatan “alat kelengkapan dewan” tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif. Oleh karena itu, dalam petitumnya, para pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf f UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Perbaiki Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan kepada para pemohon untuk melihat putusan-putusan yang ada di MK untuk menjelaskan kedudukan hukum. Selain itu, pemohon juga diminta untuk mencari argumentasi yang kuat untuk menegaskan alasan MK harus mengubah pendirian sebelumnya. Sementara Ketua Panel Hakim Anwar Usman mengatakan bahwa para pemohon harus mencari alasan yang berbeda mengenai pengujian UU a quo dengan putusan-putusan sebelumnya.
Sebelum menutup persidangan, Anwar Usman mengatakan bahwa para pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan. Ia mengatakan bahwa perbaikan harus diserahkan oleh para pemohon paling lambat Senin, 29 Juni 2020 pukul 11.00 WIB. (Utami/FY/LA)