JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang dengan agenda perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (10/6/2020) siang. Sidang dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19 ini dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Para Pemohon, Tiuridah Silitonga, Indrawan Susilo Prabowoadi, Mohammad Fadli yang berada di Universitas Batam menyampaikan perbaikan permohonan melalui video conference. “Ada beberapa perbaikan dalam permohonan ini, antara lain pada halaman 4 permohonan kami yang terkait batu uji. Dalam permohonan kami, yang jadi batu uji adalah Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 24D Ayat (1) UUD 1945,” kata Tiuridah selaku Pemohon I.
Selain itu para Pemohon memperbaiki posita di halaman 21 permohonan, pada poin 9 terkait alur penanganan pelanggaran dan poin 10 yang terkait penyelesaian sengketa. Berikutnya, ada perbaikan permohonan berupa penambahan tabel perbandingan antara pasal UU Pilkada dan pasal UU Pemilu pada halaman 25-27 dalam permohonan. “Juga ada perbaikan permohonan semua frasa hari diganti dengan kata hari,” jelas Tiuridah kepada Majelis Hakim.
Baca Juga…
Menguji Limitasi Waktu Pelaporan Pelanggaran dalam UU Pilkada
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara No. 18 PUU-XVIII/2020 ini menguji Pasal 134 ayat (4) UU Pilkada yang menyatakan, “Laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilihan”. Juga Pasal 134 ayat (5), “Dalam hal laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dikaji dan terbukti kebenarannya, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima”.
Kemudian Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada yang menyatakan, “Dalam hal diperlukan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS dapat meminta keterangan tambahan dari pelapor dalam waktu paling lama 2 (dua) hari”. Selanjutnya Pasal 143 ayat (2), “Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya laporan atau temuan”.
Para Pemohon mendalilkan ketentuan kata “hari” dalam Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada masih mendefinisikannya sebagai “hari kalender” sebagaimana tertulis dalam ketentuan Pasal 1 angka 28 UU Pilkada. Menurut para Pemohon, penggunaan “hari kalender” tidak menghitung faktor geografis Indonesia khususnya kabupaten-kabupaten di wilayah provinsi Kepulauan Riau yang mana letak antar kecamatan sebagian besar ditempuh dengan menggunakan jasa transportasi laut. Sehingga kata “hari” yang dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut adalah hari kalender dinilai terlalu singkat sehingga berpotensi daluarsa terhadap penyampaian laporan pelanggaran pemilihan dan/atau permohonan penyelesaian sengketa pemilihan.
Selanjutnya, waktu “hari kalender” dihitung secara hari normal, yaitu termasuk hari Sabtu, Minggu dan hari libur nasional, di mana penanganan pelanggaran dan/atau penyelesaian sengketa tidak dapat dilakukan secara komprehensif dan lebih optimal sehingga akan berakibat turunnya kualitas proses penanganan pelanggaran dan/atau penyelesaian sengketa tersebut.
Para Pemohon merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 telah mempertimbangkan pengujian terhadap kata “hari” dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu yang menyatakan sebagai berikut: “... menurut Mahkamah ada perbedaan waktu yang cukup signifikan antara tenggang waktu hari kalender dengan tenggang waktu hari kerja, dimana untuk hari kerja tidak dihitung termasuk hari libur dan hal ini berbeda dengan tenggang waktu hari kalender yang lebih sedikit karena hari libur termasuk bagian yang dihitung, maka dengan pemaknaan “hari” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu menjadi hari kerja hal tersebut akan semakin menambah tenggang waktu 8 secara akumulatif dan akan semakin menambah kesempatan bagi Bawaslu untuk mendapat menyelesaikan sengketa proses Pemilu yang diajukan secara komprehensif dan lebih optimal”. (Nano Tresna Arfana/ASF/NRA)