JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebanyak 33 mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang Banten didampingi 10 dosen berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (12/3/2020) pagi. Para mahasiswa mendapatkan paparan materi seputar Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi dari Gregorius Seto Hariyanto dari Forum Konstitusi (FK).
“Ketika bangsa Indonesia mau dimerdekakan oleh para pendiri republik, ada yang namanya rapat besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPK. Dalam pembahasan Undang-Undang Dasar, satu hal yang sangat digarisbawahi, bahwa yang terakhir dan tertinggi adalah suara rakyat. Jadi kita mau membangun negara demokrasi,” kata Seto Hariyanto.
Namun, sambung Seto, pada 11 Juli 1945 BPUPK membentuk tiga panitia yang salah satunya adalah panitia perancang Undang-Undang Dasar yang dipimpin Soekarno. Sedangkan panitia kecil dipimpin Soepomo. Ketika melaporkan hasilnya, Soepomo selaku pakar hukum adat mengatakan masyarakat Indonesia belum siap untuk berdemokrasi. Oleh karena itu, kata Soepomo, untuk sementara demokrasi diserahkan kepada negara, yaitu sebuah badan permusyawaratan rakyat.
“Kemudian terjadi pembahasan. Ada yang mengusulkan memakai nama majelis permusyawaratan rakyat. Jadi kedaulatan rakyat diserahkan kepada majelis sebagai pemegang kedaulatan negara atau dikenal dengan nama Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR,” terang Seto.
Selanjutnya, tutur Seto, Soekarno menanyakan siapa yang menjalankan kedaulatan negara sehari-harinya, sedangkan MPR bersidang paling sedikit sekali dalam lima tahun. Soepomo menjawab, Presiden yang menjalankan kedaulatan negara. Maka oleh Soepomo hal tersebut dimasukkan ke dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa Presiden adalah Mandataris MPR. Setelah perubahan UUD 1945, kedudukan lembaga-lembaga negara di Indonesia setara. MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Sesuai bunyi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Seto melanjutkan, dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003 bertujuan sebagai lembaga yang menjaga konstitusionalitas ketatanegaraan. “Tugas utama Mahkamah Konstitusi bagaimana menjaga Konstitusi supaya dilaksanakan sebenar-benarnya dan sepatut-patutnya,” ucap Seto.
Sebelum MKRI dibentuk, muncul perdebatan pendapat dari para pakar hukum. Ada yang mengusulkan agar MK menjadi bagian dari Mahkamah Agung (MA).
“Tapi setelah melalui perdebatan, banyak yang mengusulkan perlu dibentuk Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri dan terpisah dari Mahkamah Agung. Karena Mahkamah Konstitusi memiliki tugas khusus. Kalau Mahkamah Agung bisa menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka harus ada lembaga yang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Itulah sebabnya kita sepakat membentuk Mahkamah Konstitusi yang bisa menjaga hak konstitusional warga negara ketika ada undang-undang yang dianggap menciderai pasal-pasal dari Konstitusi,” jelas Seto.
Lebih lanjut Seto memaparkan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup yang menjadi pedoman perilaku orang per orang. Bagaimana masyarakat Indonesia berperilaku, dituntun oleh Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila juga berfungsi sebagai dasar negara yang diaktualisasikan melalui pasal-pasal dan ayat-ayat dari UUD 1945. Selain itu Pancasila berfungsi sebagai ideologi nasional yang menjadi landasan pembangunan nasional. (Nano Tresna Arfana/NRA)