JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/3/2020). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan keterangan Pemerintah. Majelis Hakim Pleno dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Pada kesempatan itu, DPR berhalangan hadir. Sementara Pemerintah diwakili Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan, Tio Serepina Siahaan.
Menanggapi permohonan Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa peningkatan industri perasuransian terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko sehari-hari dan saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha.
“Undang-Undang Perasuransian mengatur bahwa objek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia dan penutupan objek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah dalam negeri,” papar Tio.
Guna mengimbangi kebijakan tersebut, lanjut Tio, Pemerintah dan atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan upaya untuk mendorong kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri. Dengan adanya perlindungan asuransi diharapkan akan tercipta ketenangan bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan mendorong inovasi usaha yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama.
“Perusahaan perasuransian sebagai suatu institusi keuangan yang melakukan pengumpulan dana masyarakat, juga memungkinkan adanya akumulasi dana yang dapat digunakan dalam rangka pembiayaan kegiatan pembangunan nasional,” ucap Tio.
Menurut Pemerintah, pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi sudah dilakukan sejak 1978 melalui PT. Jasa Raharja (Persero). Saat itu PT. Jasa Raharja (Persero) merupakan satu-satunya lembaga keuangan nonbank yang dapat menerbitkan surety bond melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja.
“Tujuannya adalah peran pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha ekonomi lemah dengan kemudahan pengurusan penjaminan melalui produk surety bond sebagai alternatif dari bank garansi,” ucap Tio.
Baca Juga…
Status Usaha Suretyship Tidak Jelas, Asosiasi Asuransi Gugat UU Perasuransian
Pemohon Uji UU Perasuransian Pertegas Argumentasi Kedudukan Hukum
Sebagaimana diketahui, permohonan perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang diwakili Dadang Sukresna, Silvy Setiawan, Rigo Patra Puana, Widyawati, dan Achmad Sudiyar Dalimunthe sebagai para pengurus AAUI.
Pemohon melakukan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014, “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Menurut Pemohon, norma a quo tidak secara tegas menyebut lini usaha suretyship sebagai perluasan usaha asuransi. Pelaksanaan suretyship hanya didasarkan pada norma a quo yang memberikan wewenang kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan perluasan ruang lingkup.
Dalam pandangan Pemohon, hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum sepanjang tidak dimaknai “mencantumkan suretyship sebagai perluasan jenis usaha asuransi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” (Nano Tresna Arfana/RA/NRA).