JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dengan hakim agung berbeda. Jika masa jabatan presiden dan wakil presiden dan diatur dalam UUD 1945, maka masa jabatan hakim agung diatur dalam undang-undang. Hal ini disampaikan oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Ardiansyah selaku wakil Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) pada Selasa (25/2/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Perbedaan antara masa jabatan presiden dan wakil presiden serta hakim agung yang dianggap Pemohon sebagai perlakuan yang diskriminatif merupakan dalil yang tidak beralasan hukum. Namun merupakan asumsi-asumsi yang secara hukum tidak dapat ditanggungjawabkan, baik dalam struktur ketatanegaraan maupun dalam sistem pemerintahan negara Indonesia,” tegas Ardiansyah di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Pemohon Uji UU MA Persoalkan Masa Jabatan Hakim Agung
Pihak Pemerintah menegaskan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 sebagai perwujudan sistem demokrasi, sehingga jabatan tersebut merupakan jabatan politik yang diimplementasikan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945. Sedangkan masa jabatan hakim agung, tidak diangkat dan diberhentikan secara periodisasi, namun diangkat berdasarkan usia pensiun karena pengaturan tersebut telah diukur secara substantif berdasarkan kebutuhan hukum oleh pembentuk undang-undang sebagai open legal policy.
“Masa jabatan presiden dan wakil presiden tidak dapat disamakan dengan masa jabatan Hakim Agung dengan alasan presiden dan wakil presiden merupakan jabatan politik, sehingga masa jabatan disesuaikan dengan periodesasi yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesuai politik demokrasi negara, sehingga tidak dapat diberikan masa jabatan usia pensiun. Sementara hakim agung merupakan pejabat negara yang pengangkatannya didasarkan kebutuhan hukum, sehingga masa jabatannya disesuaikan dengan kebutuhan hukum negara yang dapat ditetapkan dengan undang-undang sebagai ranah legislatif (open legal policy),” papar Ardiansyah terkait permohonan Nomor 2/PUU-XVIII/2020 tersebut.
Ardiansyah juga menyebutkan pembatasan masa jabatan Hakim Agung sampai 70 tahun berdasarkan prinsip trias politika, terdapat pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dilaksanakan dengan sistem pemilihan umum sebagai pelaksanaan hak-hak politik warga negara. Dengan demikian, jabatan yang tersebut adalah jabatan politik yang terjadi atas kehendak rakyat dan bersifat tunggal serta dipilih secara nasional untuk kepentingan rakyat.
Sebelumnya, Pemohon menjabarkan ketentuan pasal UU MA tersebut telah menyebabkan terjadinya diskriminasi. Dengan arti kata telah terdapat pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, namun tidak berlaku bagi masa jabatan Hakim Agung. Apabila seseorang terpilih menjadi Hakim Agung pada saat berusia 45 tahun, maka kemungkinan besar yang bersangkutan akan menjabat selama 25 tahun dikarenakan usia pensiun Hakim Agung adalah 70 tahun. Berdasarkan hal-hal tersebut, melalui petitum Pemohon meminta agar Mahkamah memutuskan masa jabatan Hakim Agung selama lima tahun dan dapat dipilih kembali paling lama lima tahun atau satu periode. Dengan demikian masa jabatan hakim agung maksimal adalah 10 tahun.
Sebelum menutup persidangan, Anwar menyampaikan bahwa persidangan selanjutnya akan digelar pada Kamis, 5 Maret 2020 Pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pihak Terkait, yakni Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Ikatan Hakim Indonesia. (Sri Pujianti/tir/LA)