JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap UUD 1945.
Sidang kedua dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Senin (24/2/2020) dengan dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra. Permohonan perkara Nomor 7/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Michael, seorang mahasiswa semester 6 di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Jakarta. Dalam perkara ini Pemohon mendalilkan Pasal 176 UU Pilkada bertentangan dengan beberapa pasal, di antaranya Pasal 18 Ayat (4), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945.
Dalam sidang perbaikan ini, Michael yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menyebutkan beberapa hal yang diperbaiki dalam permohonannya. Untuk memperkuat kedudukan hukum, dirinya menambahkan satu Pemohon yang juga merupakan warga negara Indonesia yang merupakan mahsaiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk serta Kartu Tanda Mahasiswa. Selain itu, Pemohon II merupakan warga negara yang telah menggunakan hak pilihnya pada pemilihan kepada daerah serentak DKI Jakarta pada 2017 lalu. “Bahwa Pemohon I dan II telah dijamin hak konstitusionalnya dalam konstitusi. Dengan keberadaan norma a quo sebagai mahasiswa yang juga aktif dalam berbagai kegiatan mendukung majunya konstitusi merasa diabaikan keberadaannya dengan ketentuan ini,” sampai Michael.
Baca Juga:
Seorang Mahasiswa Persoalkan Mekanisme Penggantian Kepala Daerah dalam UU Pilkada
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon menyebutkan dalam analoginya bahwa apabila seorang menteri dipilih presiden, ketika menteri tersebut mengundurkan diri, maka penggantinya tetap dipilih oleh presiden. Demikian juga seharusnya dengan kepala daerah, ketika masyarakat memilih kepala daerah, pemilihan penggantinya pun harus tetap dipilih oleh masyarakat juga. Menurut hal ini telah terjadi dalam sebuah kasus konkret pada 2017 atas diangkatnya Djarot Syaiful Hidayat sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki Tjahja Purnama. Bagi Pemohon, hal ini bermakna seseorang dapat saja menduduki suatu posisi kepala daerah tanpa melalui proses pemilihan kepada daerah (pilkada).
Adapun Penetapan seorang kepala daerah yang diatur dalam Pasal 54D UU Nomor 1 Tahun 2015 adalah mereka yang mendapatkan suara sah lebih dari 50 persen ditambah satu suara, sedangkan angka apresiasi suatu partai politik tidak ada yang mencapai angka tersebut. Sehingga, ketika wakil kepala daerah ditunjuk oleh partai politik tidak memenuhi syarat dalam melakukan penunjukan wakil kepala daerah.
Selain itu, Pemohon juga berpandangan bahwa penunjukan wakil kepada daerah oleh partai politik pengusung memakan waktu yang lebih lama daripada pemilihan umum. Misalnya dalam kasus jabatan wakil Gubernur DKI Jakarta yang telah kosong sejak 27 Agustus 2018 yakni 1 tahun 8 bulan. Padahal pelaksanaan pemilihan umum, misalnya pemilu presiden 2019 hanya memakan waktu 7 bulan. Oleh karena itu, agar penunjukan wakil gubernur dilakukan dengan mekanisme pemilu. Akibat dari hal ini, DKI Jakarta mengalami kendala dalam menyelesaikan APBD 2020 ditambah pula banjir Jakarta yang cukup besar pada awal bulan serta penyerapan anggaran DKI yang buruk. Hal ini merupakan kerugian konstitusional yang tidak hanya dialami Pemohon, namun juga seluruh warga DKI Jakarta. (Sri Pujianti/Halim/NRA).