JAKARTA, HUMAS MKRI – Dalam pembentukan undang-undang harus memperhatikan dua hal, yakni kewenangan lembaga negara dan keinginan rakyat. Hal ini disampaikan oleh pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar yang menjadi Ahli dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang Perkara Nomor 59, 62, 70, 71, 73, 77, 79/PUU-XVII/2019 ini digelar pada Rabu (19/2/2020) dengan agenda Mendengarkan Keterangan Dua Ahli Pemohon.
Zainal melanjutkan timbul kekhawatiran dalam dirinya pembentuk undang-undang hanya berpikir bahwa membentuk undang-undang merupakan kewenangannya saja tanpa memikirkan keinginan rakyat. Padahal seharusnya rakyat juga memiliki hak untuk mengetahui proses legislasi yang berlangsung di DPR.
“Artinya, secara filosofi bahwa konstitusionalisme pembentuk undang-undang itu harus diturunkan dari konsep kedaulatan, masuk ke konsep kekuasaan, kemudian ke kewenangan untuk membentuk undang-undang. Di situ, peran rakyat menjadi sangat besar,” tambah Zainal.
Selain itu, Zainal menjelaskan praktik yang terjadi pada proses legislasi UU KPK merupakan hal yang menarik. “Presiden memberikan arahan untuk dibahas oleh para menterinya. Tiba-tiba pembahasan terjadi menuju persetujuan. Saya mengatakan, yang termasuk pembahasan dan persetujuan merupakan dua hal yang terpisah. Karena di pembahasan ada proses take and give yang seharusnya ketika di tahap persetujuan, seorang menteri harus balik ke Presiden untuk menanyakan apakah kondisi undang-undang yang sudah dibahas boleh mendapat persetujuan oleh Presiden atau tidak,” ungkap Zainal.
BACA JUGA: Ahli: Dewan Pengawas Hancurkan Independensi KPK
Proses Legislasi Bertentangan
Sementara salah seorang pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti menilai proses pembentukan UU KPK sangat bertentangan dengan aturan main dan membuat masalah fundamental dalam hal daya laku, validitas, sehingga Mahkamah Konstitusi perlu memutuskan sebaik-baiknya untuk memastikan terpenuhinya tujuan-tujuan konstitusional.
“Masuknya perkara-perkara pengujian formil ke MK menggambarkan bahwa proses legislasi kelihatan semakin menjauh dari apa yang seharusnya dilakukan para pembuat undang-undang. Dalam berbagai kajian proses legislasi telah diungkap hal-hal dalam praktik yang semakin menjauh bagaimana seharusnya proses legislasi dijalankan,” urai Bivitri yang juga pakar hukum tata negara.
Dikatakan Bivitri, konsep yang lazim dan berkembang di banyak negara adalah pengujian konstitusional oleh pengadilan, namun pengujian itu tidak pernah dibatasi secara kaku antara pengujian formil dan materiil. “Karena pada hakikatnya, adanya pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan adalah salah satu bentuk nyata negara hukum. Bahwa kekuasaan tidak boleh tidak diawasi. Maka kekuasaan membentuk undang-undang oleh lembaga legislatif pun harus bisa diuji oleh cabang ketiga yang memiliki kekuasaan di bidang hukum,” tegas Bivitri.
Dalam pandangan Bivitri, proses legislasi yang menyimpang semakin dipertontonkan secara mata telanjang, bahkan tidak malu-malu lagi. “Adanya aturan yang jelas dalam UU No. 12 tahun 2011, pertanyaan besar yang muncul dalam benak banyak orang, mengapa pembuat undang-undang menabrak aturan main yang telah dibuatnya sendiri. Jawabannya terletak pada soal kepentingan,” tandas Bivitri.
Sebagaimana diketahui, Perkara Nomor 59/PUU-XVI/2019 dimohonkan oleh 25 orang advokat yang menguji formil dan materil UU KPK. Para Pemohon berpendapat, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara. Proses pengesahan perubahan Undang-Undang KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Perubahan UU KPK sebagaimana diketahui para Pemohon dan masyarakat luas dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat. Hal tersebut berarti pembentukan undang-undang tersebut tidak memenuhi asas keterbukaan.
Selanjutnya Gregorius Yonathan Deowikaputra sebagai Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XVI/2019 menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media massa, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup, tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di laman resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama. Adanya fakta tersebut, menurut Pemohon, jelas bahwa UU Perubahan Kedua UU KPK tidak dilandasi dengan adanya asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” serta “keterbukaan” yang merupakan asas-asas wajib yang harus diterapkan oleh DPR dalam melakukan pembentukan suatu undang-undang.
Sedangkan Fathul Wahid dkk. selaku Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVI/2019 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU No. 12/2011 sebelum perubahan, karena UU No. 15/2019 tentang Perubahan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baru disahkan pada 2 Oktober 2019 dan diundangkan pada 4 Oktober 2019 dalam Lembaran Negara Tahun 2019 Nomor 183. Sementara proses pembentukan UU KPK berakhir pada 17 September 2019.
Sementara Perkara Nomor 71/PUU-XVI/2019 yang dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Keberadaan Dewan Pengawas yang diatur oleh undang-undang a quo justru menyimpang dari suatu sistem pengawasan, dan berujung pada pelemahan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Berikutnya, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XVI/2019 menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK telah memberikan standardisasi yang proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat diskriminatif. Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK menjadi tidak relevan untuk diterapkan sepanjang dimaknai “bahwa hanya profesi/instansi-instansi pemerintah” sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo dalam mempersyaratkan seseorang untuk menjadi Penyelidik KPK. Hal tersebut menyebabkan hanya orang yang berasal dari profesi/instansi-instansi pemerintah tersebut yang oleh Pimpinan KPK dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Penyelidik KPK.
Kemudian Jovi Andrea Bachtiar dkk. untuk Perkara 77 PUU-XVI/2019 melakukan pengujian materiil antara lain Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Sedangkan para Pemohon Perkara Nomor 79/PUU-XVI/2019 antara lain Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif sebagai petinggi KPK. Para Pemohon berpandangan, pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang dipandang Pemohon menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang a quo. (Nano Tresna Arfana/Raisa/LA)