JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (10/2/2020). Permohonan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 4/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Penetina Cani Cesya Kogoya, karyawan swasta yang berdomisili di Kota Jayapura.
Diwakili kuasa hukum Ivan Robert Kairupan, Pemohon mempertegas permohonannya. Menurut Pemohon, mekanisme penyelenggaraan pengangkatan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB) oleh gubernur, kesatuan bangsa (kesbang), dan panitia seleksi, sesungguhnya merupakan pola rekrutmen seperti yang dilakukan oleh rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang mengangkat anggota DPR dari Fraksi ABRI, Polri, dan anggota MPR dari kelompok utusan daerah.
“Praktik semacam ini sesungguhnya menutup ruang dan memberangus hak Pemohon untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih wakilnya dan hak untuk dipilih menjadi wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat provinsi, yang berpotensi memperlakukan Pemohon tidak sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan,” tegas Ivan di hadapan Panel Hakim MK yang terdiri atas Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku ketua Panel didampingi dua anggota panel yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain itu, sambung Ivan, Pemohon mendalilkan tidak adanya perlindungan bagi Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama. Pemohon merupakan wakil dari kaum perempuan yang selama ini bergerak dalam organisasi untuk membela kepentingan-kepentingan perempuan Papua, misalnya sebagai Sekretaris KNPI Kabupaten Jayawijaya pada 2000 sampai dengan 2004 dan sejumlah tugas lainnya.
“Sebagai warga negara yang mempunyai kedudukan hukum yang sama dalam pemerintahan, kemudian menjadi korban dari mekanisme pengangkatan anggota DPRP Provinsi Papua. Sebagaimana terjadi pada Pemohon pada 2019. Ketika proses pendaftaran dilakukan, Pemohon kemudian dibatalkan dan tidak diloloskan oleh Pansel dan kantor kesatuan bangsa serta Gubernur Papua sehingga tidak lolos sebagai anggota DPR Provinsi Papua yang diangkat periode pertama setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XVII/2019,” ucap Ivan.
Pemohon merasa dirugikan akibat mekanisme pengangkatan untuk mengisi keanggotaan pada DPRP atau DPRPB. Hal ini merupakan akibat dari berlakunya frasa “diangkat” pada Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua. Kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi jika frasa “diangkat” pada Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua yang berkaitan dengan pengangkatan anggota DPRP dan anggota DPRB dinyatakan konstitusional bersyarat dalam arti dimaknai sebagai pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat adat atau oleh orang asli Papua.
“Menurut Pemohon, frasa ‘diangkat’ pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Otsus sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘dipilih oleh masyarakat adat atau oleh orang asli Papua’,” papar Ivan.
Dalam sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan bahwa salah satu kekhususan Provinsi Papua dan Papua Barat bukan terletak pada adanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua atau Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Barat yang “diangkat”. Namun terletak pada jumlah anggotanya yang lebih banyak daripada DPRD Provinsi lainnya, yakni 1¼ kali dari DPRD. Menurut Pemohon, seharusnya tidak ada halangan bagi orang asli Papua untuk menjadi anggota DPR Provinsi Papua dan DPR Provinsi Papua Barat jika direkrut melalui pemilihan umum legislatif.
Tetapi menurut Pemohon, proses pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB) menimbulkan konflik dan permasalahan hukum karena proses rekruitmen yang tidak fair, tidak demokratis dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Praktik pengangkatan anggota DPRP dan DPRPB yang dilakukan oleh pemerintah daerah merupakan tindakan penyimpangan terhadap demokrasi yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Praktik ini selain menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, juga menciptakan diskriminasi dan ketidakadilan.
(NTA/ASF/NRA).