JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) pada Senin (10/2/2020) di Ruang Sidang Pleno Lt. 2 Gedung MK. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 5/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). Dalam sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan, Heru Widodo selaku kuasa hukum menyebutkan beberapa perbaikan permohonan, di antaranya penguatan argumentasi kedudukan hukum Pemohon.
Berdasarkan akta kepengurusan, Heru menyampaikan, badan hukum privat mempunyai kedudukan hukum atas nama organisasi yang diwakili. Dengan nama organisasi yang diwakili tersebutlah Heru dkk. memiliki keterkaitan dengan berlakunya UU tersebut. Bahwa pada praktik peradilan, kedudukan hukum organisasi telah diterima dan diakui dalam upaya pencarian keadilan di MK. “Sehingga dalam perkara a quo, Pemohon adalah organisasi yang dalam sertifikat keanggotaannya terdapat 47 perusahaan asuransi yang telah tergabung dan terdaftar di OJK,“ ucap Heru di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Selain itu, Pemohon juga melakukan pengurangan terhadap pasal yang dijadikan batu uji. Awalnya Pemohon menggunakan batu uji Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Pada perbaikan ini, Pemohon menegaskan hanya menggunakan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji.
Sebelumnya Pemohon menilai norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship, yang merupakan kegiatan yang telah 40 tahun lebih dikenal dan dijalankan sebagai satu produk inovasi perusahaan asuransi. Keberadaan usaha ini untuk menjawab tantangan pengambilalihan potensi risiko kerugian yang dapat dialami salah satu pihak atas pelaksanaan suatu kontrak dalam pengadan barang atau jasa. Di dunia internasional, usaha ini mengalami perkembangan pesat, sedangkan di Indonesia sendiri, perusahaan asuransi sejak 1970-an dinilai sebagai lembaga nonperbankan yang dapat menjadi alternatif untuk memberi jaminan dalam mendukung proyek pembangunan.
Adapun legalitas suretyship telah diakui Pemerintah sejak 1978 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 dan Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980. Meski telah berpedoman pada banyak aturan yang jelas, namun ironisnya usaha suretyship ini tidak diatur secara tegas dalam UU Perasuransian. Pelaksanaan penjaminan melalui produk suretyship ini hanya didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang memberikan wewenang kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperluas jenis usaha asuransi berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Sehingga Pemohon menilai UU Nomor 1 Tahun 2016 tersebut telah mengakibatkan ketidakpastian jenis usaha suretyship dan merugikan Pemohon karena perusahaan asuransi yang sebelumnya dapat menyelenggarakan suretyship harus menyesuaikan dalam waktu tiga tahun sejak UU tersebut diundangkan. Akibatnya, hanya perusahaan yang berizin yang diakui keabsahannya secara hukum yang dapat memasarkan jenis usaha tersebut.
(Sri Pujianti/Raisa/NRA).