JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (22/1/2020).
Para Pemohon adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) dan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah Provinsi Kalimantan Barat (KPPAD Provinsi Kalimantan Barat).
Diwakili kuasa hukumnya Muhammad Joni, para Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan berkaitan dengan alasan-alasan permohonan. Para Pemohon melengkapi alasan-alasan secara yuridis konstitusional berkaitan dengan KPAI, KPPA Aceh dan KPPAD Provinsi Kalimantan Barat menjadi satu kesatuan dan karena itu beralasan menjadi dasar mengajukan permohonan ini.
“Salah satunya adalah karena KPAI sebagai lembaga hak asasi manusia dan karena itu punya alasan untuk melakukan langkah-langkah perlindungan pengawasan perlindungan anak secara keseluruhan di seluruh pelosok wilayah Negara Republik Indonesia,” ujar Joni kepada Panel Hakim MK yang terdiri atas Enny Nurbaningsih (Ketua) didampingi Saldi Isra (Anggota) dan Wahiduddin Adams (Anggota).
Para Pemohon menegaskan, Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) diperlukan karena KPPAD adalah organ yang diperlukan untuk menjangkau seluruh anak Indonesia dengan problematika yang sedemikian kompleks.
“Karena itu kami mendalilkan Komisi Perlindungan Anak Daerah adalah bagian daripada implementasi hak konstitusional warga negara yang tercantum dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,”
Selain itu para Pemohon melakukan perbaikan permohonan terkait Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak. Para Pemohon mendalilkan tambahannya adalah bahwa tanggung jawab lembaga negara, terutama pemerintah, termasuk juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan pemajuan hak-hak anak sebagai hak asasi manusia.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara No. 85/PUU-XVII/2019 ini menguji Pasal 74 ayat (1), Pasal 74 ayat (2) sepanjang frasa “dalam hal diperlukan, kata dapat” dan frasa “atau lembaga lainya yang sejenis” dan Pasal 76 huruf a yang menyebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak.
Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak adalah norma hukum yang mengakui keberadaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang bersifat independen, akan tetapi dibatasi lingkup kelembagaannya oleh karena tidak mencakup sebagai satu kesatuan dengan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Keberadaan KPAI yang bersifat independen mengalami pelemahan organ strukturalnya dengan ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang menentukan pembentukan KPAD dihambat dengan syarat subyektif dan norma relatif serta tidak ada kepastian hukum berkeadilan yakni apabila pemerintah daerah membutuhkan.
Menurut para Pemohon, kelembagaan KPAD bukan organ pemerintah daerah (OPD) dan tidak mengabdi demi kebutuhan pemerintah daerah. Namun mengabdi demi hak konstitusional anak. Oleh karena itu norma pembatasan yang melekat pada pemerintah daerah melemahkan sistem organisasi KPAI karena pembentukan KPAD dibatasi jika sesuai demi kebutuhan pemerintah daerah, bukan manifestasi mandat konstitusi Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan, penormaan Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak yang demikian mengakibatkan tidak adanya dan tidak efektifnya infrastruktur pengawasan hak-hak anak di Indonesia yang dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 bahwa hak-hak anak merupakan hak konstitusional dari anak yang merupakan rakyat Indonesia sebagai pemilik constituent power. (Nano Tresna Arfana/LA)