JAKARTA, HUMAS MKRI - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (20/1/2020). Dalam sidang perkara yang teregistrasi Nomor 5/PUU-XVIII/2020 ini Pemohon menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang berbunyi “Ruang lingkup usaha asuransi umum dan usaha asuransi jiwa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta usaha asuransi umum syariah dan usaha asuransi jiwa syariah sebagaimana yang dimaksud dalam pasa (3) Ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Melalui Heru Widodo selaku kuasa hukum menyatakan norma tersebut tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship, yang merupakan kegiatan yang telah 40 tahun lebih dikenal dan dijalankan sebagai satu produk inovasi perusahaan asuransi. Keberadaan usaha ini untuk menjawab tantangan pengambilalihan potensi risiko kerugian yang dapat dialami salah satu pihak atas pelaksanaan suatu kontrak dalam pengadan barang atau jasa. Di dunia internasional, usaha ini mengalami perkembangan pesat, sedangkan di Indonesia sendiri, perusahaan asuransi sejak 1970-an dinilai sebagai lembaga nonperbankan yang dapat menjadi alternatif untuk memberi jaminan dalam mendukung proyek pembangunan.
Kebutuhan Masyarakat
Adapun legalitas suretyship telah diakui Pemerintah sejak 1978 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 dan Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980. Meski telah berpedoman pada banyak aturan yang jelas, namun ironisnya usaha suretyship ini tidak diatur secara tegas dalam UU Perasuransian. Pelaksanaan penjaminan melalui produk suretyship ini hanya didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang memberikan wewenang kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperluas lini usaha asuransi berdasarkan kebutuhan masyarakat.
“Saat ini ada 47 perusahaan asuransi yang mendapatkan izin mengeluarkan produk ini. Namun statusnya menjadi tidak jelas dan keberadaannya menjadi rancu bahkan terancam berhenti keberlangsungannya setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan,” jelas Heru dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Lebih lanjut Heru menguraikan bahwa UU Nomor 1 Tahun 2016 tersebut telah mengakibatkan ketidakpastian lini usaha suretyship dan merugikan Pemohon karena perusahaan asuransi yang sebelumnya dapat menyelenggarakan suretyship harus menyesuaikan dalam waktu tiga tahun sejak UU tersebut diundangkan. Akibat dari hal ini, hanya perusahaan yang berizin saja yang diakui keabsahannya secara hukum untuk dapat memasarkan lini usaha tersebut.
“Padahal ini tidak dapat terjadi karena perusahaan asuransi tidak dapat secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga atau perusahaan penjaminan. Bahwa izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh OJK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha ini,” jelas Heru.
Konstitusionalitas Norma
Dalam menanggapi permohonan ini, Enny dalam nasihat Mahkamah menyampaikan uraian terkait pihak yang dapat bertindak mewakili sebuah asosiasi di dalam dan luar pengadilan. Sehingga, hal ini menjadi pintu gerbang masuknya Pemohon dalam kedudukan hukumnya sebagai pihak yang mengajukan perkara. Selain itu, Enny juga meminta agar Pemohon menerangkan secara jelas jumlah anggota yang tergabung ke dalam asosiasi ini serta dari seluruh anggota, Enny mempertanyakan izin usaha suretyship yang dimiliki masing-masing anggota. “Apakah semua anggota asosiasi ini memiliki izin usaha suretyship tersebut? Tolong dijelaskan,” terang Enny.
Di samping itu, Enny juga menyoroti hak konstitusional yang dimohonkan Pemohon mengenai adakah pertentangannya hak, baik potensial maupun aktual, yang terabaikan dengan berlakunya UU Perasuransian. Dalam permohonan, Enny mendapati bahwa Pemohon mendalilkan norma a quo bertentanga dengan Pasal 33 ayat (4) yang utama membahas perekonomian. Namun, Enny belum menemukan secara jelas dan baik konstitusionalitas yang terlanggar.
Sementara itu, Daniel mempertanyakan uraian terkait Peraturan OJK yang disebutkan Pemohon dalam permohonan terutama menyoal sanksi administrasi dan pidana. “Apakah peraturan OJK tersebut, pihak OJK mendapat kewenangan delegasi langsung atau tidak dalam UU a quo,” tanya Daniel.
Selain itu, Daniel juga meminta Pemohon memastikan jumlah perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang menjalankan usaha suretyship apakah 47 perusahaan atau 41 perusahaan. Sedangkan Suhartoyo meminta agar Pemohon menyederhanakan permohonan sehingga tidak terjadi pengulangan dalam permohohan agar isinya dapat dipahami dengan baik oleh bayak orang yag membaca permohoan a quo.
Pemohon diberikan waktu perbaikan permohonan selama 14 hari selambat-lambatnya pada Senin, 3 Februari 2020 pukul 13.30 WIB dan menyerahkannya pada Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)